Yang Dimaksud Tidak Ada Alasan Pemaaf dalam Hukum Pidana

Tidak ada alasan pemaaf
Hubungan petindak dengan tindakannya ditentukan oleh kemampuan bertanggungjawab dari petindak. Ia menginsyafi hakekat dari tindakan yang akan dilakukannya, dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan dan dapat menentukan apakah akan dilakukannya tindakan tersebut atau tidak. Jika ia menentukan (akan) melaksanakan tindakan itu, maka bentuk hubungan itu adalah “sengaja” atau “alpa”. Dan untuk penentuan tersebut, bukan sebagai akibat atau dorongan dari sesuatu, yang jika demikian penentuan itu berada di luar kehendaknya sama sekali.

Menurut Ruslan Saleh mengatakan bahwa tiada terdapat “alasan pemaaf”, yaitu kemampuan bertanggungjawab, bentuk kehendak dengan sengaja atau alpa, tiada terhapus keselahannya atau tiada terdapat alasan pemaaf, adalah termasuk  dalam pengertian kesalahan (schuld).

Pompe mengatakan bahwa hubungan petindak dengan tindakannya ditinjau dari sudut “kehendak”, kesalahan petindak adalah merupakan bagian dalam dari kehendak tersebut. Asas yang timbul dari padanya ialah: “Tiada pidana, tanpa kesalahan”.

Menurut Martiman Prodjhamidjojo bahwa unsur subjektif adalah adanya suatu kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat di pertanggungjawabkan. Unsur-unsur subjektif yaitu :
  • Kesalahan;
  • Kesengajaan;
  • Kealpaan;
  • Perbuatan; dan
  • Sifat melawan hukum
Unsur objektif adalah adanya perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau dengan kata lain harus ada unsur melawan hukum. Unsur-unsur objektif yaitu :
  • Perbuatan; dan
  • Sifat melawan hukum;
Dalam ilmu pidana alasan penghapus pidana dibagi atas dua bagian; yaitu pertama, penghapus pidana umum, yang berlaku kepada semua rumusan delik yang disebut dalam Pasal 44, 48-51 KUHP, kedua adalah alasan penghapus pidana khusus yang terdapat dalam pasal pasal tertentu saja, yaitu Pasal 122, 221 ayat(2), 261, 310 dan 367 ayat(1) KUHP.119 Alasan pemaaf (schuldduitsluitingsgrond) yang diatur dalam Pasal 44 KUHP tentang “tidak mampu bertanggung jawab”, Pasal 48 KUHP tentang Daya Paksa (Overmacht), Pasal 49 ayat (2) KUHP tentang pembelaan terpaksa yang melampaui batas (Noodweer Execes), Pasal 51 ayat (2) KUHP tentang menjalankan perintah yang tidak sah tetapi menganggap perintah itu datang dari pejabat yang berwenang.

Alasan Penghapus pidana yang termasuk dalam alasan pemaaf yang terdapat dalam KUHP adalah:

1. Daya Paksa Relatif (Overmacht);
Overmacht merupakan daya paksa relatif ( vis compulsive) seperti keadaan darurat. Daya paksa diatur dalam Pasal 48 KUHP. Dalam KUHP tidak terdapat pengertian daya paksa. Dalam memorie van toelichting (MvT) daya paksadilukiskan sebagai kekuatan, setiap daya paksa orang berada dalam dwangpositie ( posisi terjepit). Daya paksa ini merupakan daya paksa psikis yang berasal dari luar dari si pelaku dan daya paksa tersebut lebih kuat dari padanya. Asas subsidiaritas dan proporsionalitas harus diperhatikan dan dipenuhi. Pembahasan lengkap mengenai daya paksa relatif ini sudah penulis bahas pada Bab sebelumnya bagian daya paksa absolut.

2. Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas ( Noodweer exces) Pasal 49 ayat (2) KUHP Pasal 49 ayat (2) menyatakan: “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang
langsung di sebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu tidak dipidana.”

Ada persamaan antara pembelaan terpaksa (noodweer) dan pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces), yaitu keduanya mensyaratkan adanya serangan yang melawan hukum yang dibela juga sama, yaitu tubuh, kehormatan kesusilaan, dan harta benda, baik diri sendiri maupun orang lain.
Perbedaannya ialah:
  • Pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces), pembuat melampaui batas karena keguncangan jiwa yang hebat, oleh karena itu,
  • Maka perbuatan membela diri melampaui batas itu tetap melawan hukum, hanya orangnya tidak dipidana karena ke guncangan jiwa yang hebat.
  • Lebih lanjut maka pembelaan terpaksa yang melampaui batas menjadi dasar pemaaf. Sedangkan pembelaan terpaksa (nood weer) merupakan dasar pembenar, karena, melawan hukumnya tidak ada.
Pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas, batas pembelaan yang perlu dilampaui, jadi tidak proporsional. Melampaui batas pembelaan ada dua macam. Pertama, orang yang diserang sebagai akibat keguncangan jiwa yang hebat melakukan pembelaan pada mulanya sekejap pada saat di serang (Hoge Raad 27 Mei 1975 N.J. 1975, no. 463). Jadi, di sini ada dua fase, pertama ialah noodweer exces. Bentuk kedua ialah orang yang berhak membela diri karena terpaksa karena akibat ke guncangan jiwa yang hebat sejak semula memakai alat yang melampaui batas.

3. Menjalankan Perintah Jabatan yang Tidak Sah, Tetapi Terdakwa Mengira Perintah Itu Sah,  Pasal  51 ayat (2) KUHP.
Perintah berasal dari penguasa yang tidak berwenang, namun pelaku menganggap bahwa perintah tersebut berasal dari penguasa yang berwenang. Pelaku dapat dimaafkan jika pelaku melaksanakan perintah tersebut dengan itikad baik, mengira bahwa perintah tersebut sah dan masih berada dalam lingkungan pekerjaannya. Hal ini diatur dalam Pasal 51 ayat (2) KUHP.

Menurut Vos, mengenai ketentuan ayat (2) Pasal 51 KUHP itu, perintah jabatan yang diberikan oleh yang tidak berwenang untuk lolos dari pemidanaan, harus memenuhi dua syarat:
  • Syarat subyektif, yakni pembuat harus dengan itikad baik me mandang bahwa perintah itu datang dari yang berwenang: dan
  • Syarat obyektif, yakni pelaksanaan perintah harus terletak dalam ruang lingkup pembuat sebagai bawahan.
Jadi seorang agen polisi diperintah oleh atasannya. Untuk menganiaya tahanan walaupun ia beritikad baik, bahwa ia harus memenuhi perintah itu, tidak menjadikan ia lepas, karena perbuatan seperti itu bukan tugasnya. Di sini bedanya dengan ayat (1), pada ayat (2) ini diharuskan adanya hubungan atasan-bawahan (secara langsung). Menurut Pompe hubungan atasan-bawahan itu tetap dinyatakan ada walaupun bersifat sementara.

Maka dapat disimpulkan bahwa dasar pemaaf terdiri atas:
  • Daya paksa Relatif (overmacht), (Pasal 48 KUHP);
  • Pembelaan terpaksa melampaui batas (Noodweer), (Pasal 49 Ayat 2 KUHP); dan
  • Perintah   jabatan yang tidak sah, namun ketika melakukan perbuatan pelaku mengiranya sah, (Pasal 52 ayat (2) KUHP).
Semoga Bermanfaat...
Admin : Nurlina Arianti, SH
Web Blog : Dialog Kebenaran



Previous
Next Post »