Sejarah Hukum Pidana Zaman Hindia Belanda dan Jepang

Zaman Hindia Belanda
Pada tahun 1918 sampai dengan tahun 1814 Indonesia pernah jatuh dari tangan Belanda ke tangan Inggris. Berdasarkan Konvensi London 13 Agustus 1814, maka bekas koloni Belanda dikembalikan kepada pemerintah Belanda. Pada tahun 1881 di negeri Belanda dibentuk suatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru yang mulai diberlakukan pada tahun 1886 yang bersifat nasional dan sebagian besar mencontoh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Jerman. 

Sikap semacam ini bagi Indonesia baru diturut dengan dibentuknya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru (Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie stbl Nomor 732)30 dengan firman Raja Belanda tanggal 15 Oktober 1915, mulai berlaku 1 Januari 1918, yang sekaligus menggantikan kedua Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tersebut di atas untuk berlaku bagi semua penduduk di Indonesia.

Bersamaan dengan hal tersebut diatas, diberlakukan juga beberapa pengaturan seperti Gestichten Reglement Stb 1917/708. Wijzigings Ordonantie Stb 1917/732, Dwang opvoeding Regeling Stb 1917/741, Voorwaardelijke invrijheidstelling stb 1917/149.31 Dengan demikian berakhirlah dualism hukum pidana di Indonesia yang pada mulanya hanya untuk daerah yang langsung dikuasai oleh pemerintah Belanda dan akhirnya untuk seluruh Indonesia.
 
Zaman pendudukan Jepang
Pada masa pendudukan Jepang selama 3,5 tahun, pada hakekatnya hukum pidana yang berlaku di wilayah Indonesia tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pemerintahan bala tentara Jepang (Dai Nippon) memberlakukan kembali peraturan jaman Belanda dahulu dengan dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei. 

Pertama kali, pemerintahan militer Jepang mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 1 Tahun 1942. Pasal 3 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang- undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah untuk sementara waktu, asalkan tidak bertentangan dengan pemerintahan militer. 

Dengan dasar ini maka dapat diketahui bahwa hukum yang mengatur pemerintahan dan lain-lain, termasuk hukum pidananya,masih tetap menggunakan hukum pidana Belanda yang didasarkan pada Pasal 131 jo. Pasal 163 Indische Staatregeling. Dengan demikian, hukum pidana yang diberlakukan bagi semua golongan penduduk sama yang ditentukan dalam Pasal 131 Indische Staatregeling, dan golongan-golongan penduduk yang ada dalam Pasal 163 Indische Staatregeling.

Untuk melengkapi hukum pidana yang telah ada sebelumnya, pemerintahan militer Jepang di Indonesia mengeluarkan Gun Seirei nomor istimewa 1942, Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 dan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942. Gun Seirei Nomor istimewa Tahun 1942 dan Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 berisi tentang hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Sedangkan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942 mengatur tentang pengadilan di Hindia Belanda.

Pada masa ini, Indonesia telah mengenal dualisme hukum pidana karena wilayah Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian wilayah dengan penguasa militer yang tidak saling membawahi. Wilayah Indonesia timur di bawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang yang berkedudukan di Makasar, dan wilayah Indonesia barat di bawah kekuasaan Angkatan Darat Jepang yang berkedudukan di Jakarta. Akibatnya, dalam berbagai hal terdapat perbedaan peraturan yang berlaku di masing-masing wilayah.

Semoga Bermanfaat...
Admin : Ardianti Lukman, SH
Web Blog : Blogger Sidrap



Previous
Next Post »