Sejarah Dan Perkembangan Hukum Pidana di Zaman VOC

Sejarah Dan Perkembangan Hukum Pidana di Zaman VOC
Zaman VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) - Hukum Barat (Belanda) masuk ke Indonesia seiring dengan gerakan kolonialisme. Dengan dalih memperluas wilayah perdagangan, maksud semula untuk berdagang berubah menjadi menjajah. Agar maksud ini lancar, Pemerintah Hindia Belanda memberi wewenang penuh kepada perusahaan perdagangan Belanda, VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) untuk mendirikan benteng-benteng pertahanan dan mengadakan perjanjian dengan raja-raja di Indonesia. Oleh karena itu, VOC mempunyai dua wewenang, yakni sebagai pedagang dan sebagai badan pemerintah.

Kedatangan pedagang-pedagang Belanda (VOC) di Indonesia membawa suasana penjajahan. Untuk kepentingan-kepentingan perdagangan mereka, berdasarkan oktorooi Staten General di negeri Belanda, VOC telah melaksanakan berlakunya peraturan-peraturan sendiri di Indonesia. Semula peraturan-peraturan tersebut berbentuk plakaat-plakaat. Kemudian plakaat- plakaat itu dihimpun dengan nama Statuten Van Batavia (Statuta Betawi) pada tahun 1642, tetapi belum merupakan kodifikasi, dan pada tahun 1848 diadakan Interimaire Strafbepalingen, merupakan dua peraturan pidana tertulis pertama yang diterapkan oleh Belanda walaupun dalam bentuknya yang sederhana, yang memuat aturan pidana yang berlaku bagi orang Eropa.

Hukum yang berlaku pada waktu itu adalah sistem hukum Belanda. Pada mulanya hanya berlaku bagi orang Eropa saja, tetapi dengan berbagai peraturan dan upaya, akhirnya dinyatakan berlaku bagi bangsa Asia, termasuk Indonesia yang menundukkan diri pada hukum Barat secara sukarela atau karena ada perbuatan hukum yang berkenaan dengan keuangan dan perdagangan. 

Hukum Belanda yang diberlakukan oleh VOC pada waktu itu antara lain hukum tatanegara, perdata dan pidana. VOC tidak mengenal hukum lain selain hukumnya sendiri. Tidak ada perbedaan antara orang Indonesia dengan orang Belanda, semuanya termasuk ke dalam peradilan Belanda, yaitu Raad van Justitie dan Schepenbank. Pengadilan Asli yang dilakukan oleh kepala- kepala rakyat dianggap tidak ada.

Bagi orang bumiputera atau orang asli Indonesia asli, meskipun adanya peraturan- peraturan hukum pidana yang tertulis tersebut, tetap berlaku hukum adat pidana yang sebagian besar tidak tertulis, dan pengadilan bekerjanya masih bersifat arbitrair. Menjelang periode akhir abad ke 19 mulai dirasakannya perlu unifikasi hukum pidana. Maka pada tahun 1881 pemerintah Belanda mengadakan kodifikasi hukum pidana baru, yaitu Wetboek van Strafrecht 1881 (Stb.1881 nomor 35) dan diberlakukan secara nasional mulai tanggal 1 September 1886 serta sekaligus menggantikan Code Penal Prancis. Pada tahun 1866 barulah dikenal kodifikasi dalam arti sebenarnya, yaitu pembukuan segala peraturan hukum pidana.

Kodifikasi hukum pidana itu oleh pemerintah Belanda dikandung maksud untuk menyapu bersih dan menghapuskan hukum adat, sehingga hanya berlaku hukum pidana asing yang didatangkan untuk penduduk negara jajahan. Sejarah kolonial pada saat itu menunjukkan keadaan sikap penduduk asli sukar ditaklukkan oleh orang asing, oleh karena itu perlu ditempuh berbagai jalan antara lain dengan kolonisasi hukum pidana. 

Pada tanggal 10 Februari 1886 berlaku dua kitab Undang-Undang Hukum pidana di Indonesia yaitu Het Wetboek Van Strafrecht Voor Europeanen (S. 1866 Nomor 55) yang berlaku bagi golongan Eropa mulai pada tanggal 1 Januari 1867, kemudian dengan Ordonansi tanggal 6 Mei 1872 ditetapkan pula berlakunya KUHP untuk golongan Bangsa Indonesiaa dan Timur Asing, yaitu Het Wetboek Van Strafrecht Voor Inlands en Daarmede Gelijkgestlede S. 1872 Nomor 85 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1873.
 
Kedua Kitab Undang-Undang Hukum pidana di Indonesia tersebut diatas adalah jiplakan dari kode penal negara Perancis, yang oleh kaisar Napoleon dinyatakan berlaku di negara Belanda pada waktu negara itu ditaklukkan oleh Napolleon permulaan abad XXI. Dengan berlakunya KUHP tahun 1886 dan tahun 1872, maka aturan hukum pidana yang lama yaitu tahun 1642 dan tahun 1848 tidak berlaku lagi, begitu juga hukum pidana yang berlaku di daerah-daerah yang dijajah itu dihapuskan dan semua orang-orang Indonesia tunduk kepada satu KUHP saja (kecuali di daerah-daerah Swapraja).

Semoga Bermanfaat..
Admin : Syakirah Nurhandayani, SH



Previous
Next Post »