Hakikat Hukum Internasional

Hakikat Hukum Internasional
Hukum internasional merupakan suatu sistem yang tekah berumur cukup tua dan telah merupakan suatu sistem hukum tersendiri, dan saat ini telah mengatur kegiatan luar negeri lebih dari 200 negara di dunia. Namun, masih saja dipertanyakan oleh sebagian masyarakat mengenai hakikat hukum internasional sebagai suatu hukum atau moral. Hal ini karena masyarakat internasional pada umumnya membandingkan antara hukum nasional dengan hukum internasional. Tentu saja kedua sistem hukum tersebut berbeda satu dengan lainnya. 

Dalam sistem hukum nasional, terdapat badan legislative pembuat ketentuan hukum serta disertai lembaga pelaksana sanksi. Sebaliknya dalam hukum internasional tidak ada kekuasaan tertinggi yang dapat memaksakan keputusan-keputusan kepada negara-negara, tidak ada badan legislative internasional yang membuat ketentuan hukum yang mengikat langsung negara. Hal ini karena, dalam hukum internasional struktur masyarakat internasional bersifat koordinatif ditandai oleh tiadanya badan supra-nasional yang berwenang membentuk, menerapkan dan memaksakan hukum internasional. 

Secara umum hukum hanya dipandang sebagai mekanisme bekerjanya norma-norma yang tampak dalam wujud adanya aparat- aparat pembuat, pelaksana dan penegak hukum serta sanksi atau upaya pemaksaannya, melainkan jauh lebih luas dan dalam. Suatu kaidah dapat disebut sebagai kaidah bahkan lebih ditentukan oleh hal yang esensial, yakni kaidah itu harus memenuhi rasa keadilan sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat, atau mengandung nilai-nilai yang sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan.

Namun demikian, negara-negara tetap percaya bahwa hukum internasional itu ada, dan sebagai negara yang berdaulat serta menjunjung tinggi martabatnya sebab terdapat kewajiban moral bagi negara untuk menghormati hukum internasional karena kepatuhan tersebut diperlukan untuk mengatur hubungan antara satu dengan yang lain dan untuk melindungi kepentingannya sendiri. Negara-negara patuh karena merupakan kepentingan mereka untuk berbuat demikian.

Berdasarkan uraian tersebut, maka hakikat kepatuhan negara-negara terhadap hukum internasional terdapat dua pandangan umum, yaitu pendapat John Austin dan Oppenheim. Pandangan pertama yang ekstrim yakni penyangkalan atas eksistensi hukum internasional, dikemukakan oleh John Austin (1790-1859) dan diikuti oleh penganut yang lainnya seperti Hobbes dan Jeremy Bentham. John Austin mengatakan bahwa hukum internasional bukanlah merupakan kaidah atau aturan hukum, melainkan hanya merupakan etika dan aturan kesopanan internasional saja. 

Pandangan ini didasarkan pada pemahamannya tentang hukum pada umumnya, hukum dipandang sebagai perintah, yakni perintah dari pihak yang menguasai kepada pihak yang dikuasai. Jadi suatu peraturan yang tidak berasal dari penguasa yang berdaulat, peraturan semacam itu bukan merupakan hukum, melainkan hanyalah aturan moral belaka, seperti aturan kesopanan dan kesusilaan.

Pandangan ini tentu merupakan penyangkalan atas eksistensi hukum kebiasaan termasuk hukum kebiasaan internasional sebab hukum kebiasaan internasional tidak dibuat oleh penguasa yang berdaulat, melainkan tumbuh dan berkembang di dalam dan di tengah-tengah pergaulan hidup masyarakat. Jadi menurut John Austin, yang dimaksud dengan hukum kebiasaan internasional bukan merupakan hukum dalam pengertian yang sebenarnya melainkan hanyalah norma moral saja. Jika pandangan John Austin ini dihubungkan dengan hukum internasional, dimana masyarakat dan struktur hukum internasional yang koordinatif dalam pengertian tidak mengenal badan supranasional yang berdaulat. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hukum internasional bukan merupakan hukum sebab hukum internasional tidaklah dibuat oleh badan yang berdaulat yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada masyarakat internasional.

Namun dalam kenyataannya, pandangan mengenai hakikat mengikat hukum internasional sebagai moral ini sudah mulai ditinggalkan sebab keberadaan alat-alat perlengkapan atau lembaga sebagai pembuat, pelaksana, dan pemaksa dalam tatanan masyarakat internasional dipandang sebagai faktor yang esensial bagi adanya suatu hukum internasional. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika muncul pandangan dari beberapa pakar yang mengemukakan bahwa adanya aparat dan lembaga dipandang sebagai faktor yang esesial bagi adanya suatu kaidah hukum diantaranya andangan Oppenheim dan Van Apeldoorn, menurut Oppenheim hukum internaional adalah hukum, sebab syarat adanya hukum internasional adalah adanya masyarakat internasional, adanya sekupmpulan aturan tingkah laku dalam masyarakat internasional, adanya kesepakatan masyarakat internasional untuk menjamin pelaksanaan aturan tingkah laku dalam bentuk pemberian sanksi (external power). 

Dengan perkataan lain, hukum yang hanya dipandang sebagai mekanisme bekerjanya norma-norma yang tampak dalam wujud adanya aparat pembuat, pelaksana dan penegak hukum serta sanksi sebagai usaha untuk mendayagunakan hukum itu senbdiri. Padahal jika diselami secara mendalam, sebenarnya hukum itu tidak saja sekadar menyangkut mekanisme pembuatan, pelaksanaan maupun pemaksaannya, melainkan jauh lebih luas dan dalam. Di dalam hukum, terkandung nilai-nilai, rasa keadilan dan kesadaran hukum yang terdapat di dalam sanubari setiap individu maupun masyarakat.

Berdasarkan pandangan di atas, maka hakekat dan daya mengikat hukum internasional memiliki dua jenis karakter yakni karakter hukum dan karakter moral. Pertama, hukum internasional sebagai kaidah atau hukum karena dalam praktek negara-negara telah mengurangi kedaulatannya untuk kepentingan negara tersebut dalam hubungannya satu sama lain, diantaranya pembentukan organisasi internasional yang disertai dengan organ-organ atau sub- sub organnya serta peraturan hukum internalnya baik yang subtansial maupun prosedural yang bersifat mengikat sebagai hukum terhadap anggotanya dan diterapkan dalam hubungan antar mereka baik dalam skala global maupun regional. 

Selain itu, kesediaan negara untuk terikat pada perjnajian internasional, kebiasaan internasional jika terjadi pelanggaran terhadap hukum internasional yang telah disepakati tetap diberikan sanksi baik sanksi politik, ekonomi dan hukum. Bentuk sanksi tersebut sebagai langkah-langkah, prosedur-prosedur dan sarana-sarana untuk memaksa negara mematuhi kewajiban-kewajibannya menurut hukum internasional.

Oleh karena itu, pandangan hukum internasional sebagai hukum didasarkan oleh adanya lembaga-lembaga dan aparat-aparat penegak hukum disertai adanya penerapan sanksi yang tegas, dipandang sebagai faktor yang esensinya bagi adanya suatu kaidah hukum. Dengan demikian, hukum selalu dipandang dalam hubungannya dengan lembaga dan aparat penegak hukum. Tanpa adanya lembaga dan aparatnya, hukum dipandang tidak pernah ada.

Beberapa bukti untuk memperkuat bahwa hukum internasional dalam kehidupan sehari-hari dan masyarakat internasional telah diterima dan ditaati sebagai sebagai hukum dalam pengertiannya yang sebenarnya, antara lain:
  • Organ-organ pemerintah negara, khususnya yang dalam tugas dan kewenangannya berhubungan dengan masalah luar negeri atau internasional, tetap menghormati prinsip-prinsip dan kaidah-kidah hukum internasional dalam hubungan antara sesamanya. Masing-masing negara melalui organ-organ pemerintahannya menghormati hukum internasional. Sebagi contoh, dua atau lebih negara yang masing-masing diwakili oleh organ pemerintah negaranya dalam proses pembuatan perjanjian internasional selalu tunduk pada prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum perjanjian internasional.
  • Persengketaan-persengketaan antara subyek hukum internasional, misalnya antara dua atau lebih negara khususnya yang mengandung aspek-aspek hukum maupun alternatif penyelesaian sengketa non hukum seperti perundingan dengan melibatkan pihak ketiga, penyelesaian melalui badan-badan arbitrase yang diakui legalitasnya oleh hukum internasional. Meskipun kadang-kadang terdapat pihak yang melanggarnya namun pelanggaran tersebut tidaklah menghilangkan sifat dan hakekatnya sebagai hukum internasional.
  • Kaidah-kaidah hukum internasional dalam kenyatannya ternyata banyak diterima dan diadopsi menjadi bagian dari hukum nasional negara-negara. Ini berarti, bahwa negara-negara sebelumnya sudah menerima eksistensi hukum internasional sebagi bidang hukum yang berdiri sendiri dengan melalui cara atau prosedur tertentu dapat diadopsi menjadi bagian dari hukum nasionalnya. Bahkan dalam beberapa hal, hukum internasional harus diperhitungkan dan diperhatikan oeh negara-negara dalam menyusun peraturan perundang-undangan nasionalnya mengenai suatu masalah tertentu.
Akan tetapi, seiring berjalannya waktu pandangan tersebut mulai ditinggalkan, dimana keberadaan aparat-aparat penegak hukum serta keberadaan sanksi hukum memang penting artinya, tetapi bukan merupakan faktor yang paling menentukan bagi adanya hukum. Eksistensi suatu hukum sebenarnya lebih ditentukan oleh sikap dan pandangan serta kesadaran hukum masyarakat. Apabila masyarakat menerima, merasakan dan mentaati kaidah hukum disebabkan karena memang sesuai dengan kesadaran hukum dan rasa keadilan masyarakat, terlepas ada atau tidak adanya lembaga ataupun aparat penegak hukumnya, maka kaidah tersebut sudah dapat dipandang sebagai kaidah hukum. 

Meskipun tidak ada lembaga ataupun aparat yang membuat, melaksanakan, maupun memaksanya, tetapi jika kaidah itu diterima dan ditaaati. Namun meskipun sudah ditinggalkan, tetapi tidak jarang masih menghinggapi pola pikir dan pandangan sebagian ahli hukum terhadap hukum internasional. Hal ini disebabkan karena mereka sudah terbiasa dalam suasana masyarakat nasional dengan hukum nasionalnya yang secara lengkap memiliki alat-alat perlengkapan atau lembaga-lembaga dengan tegas dan kewenangannya yang jelas dan tegas baik sebagai pembuat, peaksana dan pemaksa berlakunya hukum terhadap masyarakat.

Meski demikian, eksistensi suatu hukum sebanarnya lebih ditentukan oleh sikap dan pandangan serta kesadaran hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat terlepas dari ada atau tidak adanya lembaga atau aparat yang membuat, melaksanakan hukum karena sesuai dengan kesadaran hukum dan rasa keadilan, maka msyarakat memandangnya sebagai hukum. Dalam kaitannya dengan hukum internasional yang merupakan hukum yang tumbuh dan berkembang di dalam dan di antara masyarakat internasional, tanpa dibuat, dilaksanakan atau dipaksakan oleh lembaga atau badan supransional, sehingga sangat sulit untuk diterima pandangan bahwa hukum internasional bukanlah hukum. 

Kenyataannya masyarakat internasional kini telah menerima eksistensi hukum internasional sebagai hukum. Dengan demikian, maka karakter hukum internasional adaah moral diterima karena kedaulatan negara masih ada dan struktur masyarakat dan hukum internasional yang koordinatif, dalam pengertian tidak adanya badan supranasional, tetapi lebih kepada kesadaran dan tanggunjawab moral negara-negara dalam mentaati hukum internasional.

Karenanya, eksistensi hukum internasional sangat dipengaruhi oleh dua aliran yaitu aliran hukum alam dan hukum positif yang dalam kenyataannya masih tetap eksis sampai saat ini dan tetap mempengaruhi pola pikir masyarakat internasional dewasa ini dan saling melengkapi satu dengan lainnya. Misalnya aliran hukum moral dengan konsep hukum yang sangat abstrak, samar-samar, serta mengawang awang. Sebagai konsekuensinya maka hukum moral sangat tergantung pada penafsiran yang sangat subyektif. 

Namun terlepas dengan kelemahan tersebut, sumbangan aliran hukum lm terhadap hukum internasional tidak ternilai diantaranya berjasa dalam meletakkan landasan yang ideal bagi  norma hukum internasional pada umumnya. Dasar dan landasan ini dapat ditunjukkan pada adanya pengakuan dan penerimaan umat manusia terhadap nilai-nilai hukum dan kemanusian yang bersifat universal dan abadi, seperti hak-hak asasi manusia, kesamaan derajat, perlakuan sama maupun kesamaan negar, perlakuan yang sama bagi setiap orang di hadapan hukum dan lain sebagainya.

Untuk menutupi kelemahan hukum alam, maka keberadaan hukum positif sangat membantu terutama didasarkan atas kehendak negara untuk tunduk pada hukum internasional berdasarkan atas perjanjian internasional. Dengan demikia, tunduk dan terikatnya negara pada hukum internasional disebabkan karena adanya kehendak bersama negara untuk tunduk dan terikat misalnya negara baru merdeka tunduk dan terikat dengan sendirinya didalamnya terkandung suatu persetujuan atau kehendak bersama secara diam-diam. 

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa perjanjian internasional adalah bentuk hukum internasional yang positif yang mengikat negara selain keberdaan hukum kebiasaan internasional yang juga mengikat negara tanpa didahului dengan adanya persetujuan atau kehendak bersama. Dengan demikina, maka hukum internasional dalam praktiknya tetap mendapat pengakuan sebagai moral disamping juga adalah hukum positif yang telah diterima dan dipratikan oleh negara- negara dalam hubungan internasionalnya.

Semoga Bermanfaat...
Admin : Susan Ariani Hamzah, SH
Web Blog : Senior Kampus



Previous
Next Post »