1. Sejarah Hukum Adat Sebelum Kemerdekaan
Periode sejarah hukum adat pada masa penjajahan Belanda terbagi dalam beberapa zaman:
- Zaman Daendels (1808-1811)
Beranggapan bahwa memang ada hukum yang hidup dalam masyarakat adat tetapi derajatnya lebih rendah dari Hukum Eropa, jadi tidak akan mempengaruhi apa-apa sehingga Hukum Eropa tidak akan mengalami perubahan karenanya. - Zaman Raffles(1811-1816)
Pada zaman ini Gubernur Jenderal dari Inggris membentuk komisi atau panitia yang tugasnya mengkaji/meneliti peraturan-peraturan yang ada dalam masyarakat, untuk mengadakan perubahan-perubahan yang pasti dalam membentuk pemerintahan yang dipimpinnya. Setelah hasil penelitian komisi dikumpulkan pada tanggal 11 Februari 1814, dibuat peraturan yaitu Regulation for The More Effectual Administration of Justice in The Provincial Court of Java, yang mengatur tentang: - Residen menjabat sekaligus sebagai Kepala Hakim
- Susunan pengadilan terdiri dari Residen's court, Bupati's court, Division court, Circuit of court atau pengadilan keliling
- Native law dan unchain costum untuk Bupati's court dan untuk Residen (orang Inggris) memakai Hukum Inggris.
- Zaman Komisi Jenderal (1816-1819)
Pada zaman ini, tidak ada perubahan dalam perkembangan hukum adat dan tidak merusak tatanan yang sudah ada pada zaman Raffles. - Zaman Vanden Bosch
Pada zaman ini, hukum waris itu dilakukan menurut Hukum Islam serta hak atas tanah adalah campuran antara peraturan Bramein dan Islam. - Zaman Chr. Baud.
Pada zaman ini, sudah banyak perhatian pada hukum adat misalnya, tentang melindungi hak-hak ulayat. Demikian juga putera-putera Indonesia sudah menulis disertasi mengenai Hukum Adat di Perguruan Tinggi di Belanda, antara lain: tahun 1922, Kusuma atmadja yang menulis tentang wakaf, tahun 1925 Soebroto yang menulis tentang gadai sawah, tahun 1925, Enda bumi yang menulis tentang hukum tanah suku Batak, tahun 1927, Soepomo yang menulis tentang hak tanah di kerajaan-kerajaan.
2. Hukum Adat Setelah Kemerdekaan
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, mengakui keberadaan hukum adat, yang yang menyatakan “segala badan negara dan peraturan yang masih berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar”.
Dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 (Konstitusi RIS) juga mengatur mengenai hukum adat antara lain dalam Pasal 144 ayat (1) tentang hakim adat dan hakim agama, Pasal 145 ayat(2) tentang pengadilan adat, dan Pasal 146 ayat (1) tentang aturan hukum adat yang menjadi dasar hukuman.
Dalam Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950), juga terdapat penjelasan mengenai dasar berlakunya hukum adat. Pasal tersebut menjelaskan bahwa, segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara hukuman menyebut aturan-aturan Undang-Undang dan aturan-aturan hukum adat yang dijadikan dasar hukuman itu.
Tap Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor II/MPRS/1960, memberikan pengakuan badi hukum adat, yaitu:
- Asas pembinaan hukum nasional supaya sesuai dengan Haluan Negara dan berlandaskan hukum adat.
- Dalam usaha homogenitas di bidang hukum supaya diperhatikan kenyataan yang hidup dalam masyarakat.
- Dalam penyempurnaan Undang-Undang Hukum Perkawinan dan waris, supaya diperhatikan faktor- faktor agama, adat, dll.
Kemudian juga, dalam penyusunan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), juga berdasarkan pada azas hukum adat. Undang- undang tersebut juga mengakui keberadaan hukum adat, “(ukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme) ndonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman memberikan pengakuan bahwa, “(ukum yang dipakai oleh kekuasaan kehakiman adalah hukum yang berdasarkan Pancasila, yakni yang sidatnya berakar pada kepribadian bangsa”.Seterusnya, dalam Pasal 17 ayat (2) yang menjelaskan bahwa berlakunya hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Peraturan perundang-undangan tersebut dengan nyata menyebutkan keberadaan dalam keberlakuan hukum adat dalam masyarakat Indonesia.
Setelah amandemen ke-dua Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), Pasal 18B ayat (2) menjadi dasar pengakuan hukum adat dalam konstitusi Negara Indonesia, yaitu:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan- kesatuan masyarakat hukum adat berserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuaidengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik )ndonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Semoga Bermanfaat...
Admin : Nurdiana Sulfiani Hasan, SH
Web Blog : Buktiin Aja