Cara Merumuskan Tindak Pidana

Cara Merumuskan Tindak Pidana
1. Cara Pencantuman Unsur-Unsur dan Kualifikasi Tindak Pidana

Dari sudut ini, maka dapat dilihat bahwa ada tiga cara merumuskannya yaitu:
a. Dengan Mencantumkan Unsur Pokok, Kualifikasi dan Ancaman Pidana.
Cara ini merupakan cara yang paling sempurna, cara ini digunakan terutama dalam hal merumuskan tindak pidana dalam bentuk pokok/standar, dengan mencantumkan unsur- unsur objektif maupun unsur subjektif misalnya Pasal 338 (pembunuhan), 362 (Pencurian), 368 (pengancaman), 369 (pemerasan), 372 (penggelapan), 378 (penipuan), 406 (perusakan). Selain itu ada juga tindak pidana yang dirumuskan secara sempurna dengan kualifikasi tertentu misalnya pemberontakan (Pasal 108).

Dalam unsur pokok tindak pidana tersebut diatas, terdapat unsur-unsur objektif dan unsur subjektif secara lengkap, contohnya Pasal 368 KUHP yang termasuk dalam kualifikasi pemerasan dengan unsur-unsur sebagai berikut:
  • Unsur ojektif terdiri dari:
    • Memaksa (tingkah laku)
    • Seseorang (yang dipaksa)
    • Dengan : (1) Kekerasan (2) Ancaman kekerasan.
    • Agar orang : (1) Menyerahkan benda, (2) Memberi hutang, (3) menghapus piutang.
  • Unsur subjektif berupa:
    • Dengan maksud untuk menguntungkan (1) Diri sendiri dan (2) Orang lain
    • Dengan melawan hukum.
b. Mencantumkan Semua Unsur Pokok Tanpa Kualifikasi dan Mencantumkan Ancaman Pidana.
Cara inilah yang paling banyak digunakan dalam merumuskan tindak pidana dalam KUHP. Tindak pidana yang menyebutkan unsur-unsur pokok tanpa menyebutkan kualifikasi dalam praktik kadang-kadang terhadap suatu rumusan diberi kualifikasi tertentu misalnya terhadap tindak pidana pada Pasal 242 diberi kualifikasi sumpah palsu, penghasutan (Pasal 160), laporan palsu (Pasal 220), membuang anak (Pasal 305), pembunuhan anak (Pasal 341) dan penggelapan oleh pegawai negeri (Pasal 415).

c. Mencantumkan Kualifikasi dan Ancaman Pidana
Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara ini merupakan yang paling sedikit. Hanya dijumpai pada pasal tertentu saja. Model perumusan ini dapat dianggap sebagai pengecualian. Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara yang sangat singkat ini dilatarbelakangi oleh suatu ratio tertentu, misalnya kejahatan penganiayaan (Pasal 351). 

Pasal 351 (1) dirumuskan dengan sangat singkat yaitu : 
Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Alasan rumusan penganiayaan dengan hanya menyebut kualifikasi ini dapat diketahui dari sejarah dibentuknya kejahatan itu dalam WvS Belanda. Pada awalnya tentang kejahatan itu diusulkan rumusan dengan “sengaja mengakibatkan rasa sakit terhadap tubuh orang lain dan dengan sengaja merusak kesehatan orang lain”. Rumusan ini oleh parlemen dianggap tidak tepat karena masuk di dalamnya perbuatan seorang pendidik terhadap anak didiknya dan perbuatan dokter terhadap pasiennya. Atas keberatan itu, Menteri Kehakiman mengubah rumusan “ dengan sengaja menimbulkan rasa sakit pada tubuh orang lain” dengan cukup menyebut penganiayaan saja, atas dasar pertimbangan bahwa semua orang sudah memahami artinya. Sementara itu, usul rumusan semula : “ dengan sengaja merusak kesehatan orang lain” ditempatkan pada ayat 4.
 
2. Dari Sudut Titik Beratnya
a. Dengan Cara Formil
Disebut dengan cara formil karena dalam rumusan dicantumkan secara tegas perilah larangan melakukan perbuatan tertentu. Jadi yang menjadi pokok larangan dalam rumusan itu ialah melakukan perbuatan tertentu. Dalam hubungannya dengan selesainya tindak pidana, jika perbuatan yang menjadi larangan itu selesai dilakukan, tindak pidana itu selesai pula tanpa bergantung pada akibat yang timbul dari perbuatan. Misalnya pada Pasal 362 KUHP, jika perbuatan mengambil selesai, maka pencurian selesai, atau jika perbuatan membuat palsu (surat) dan memalsu (surat) selesai dilakukan, kejahatan itu selesai (Pasal 263). Tindak pidana yang dirumuskan secara formil ini disebut dengan tindak pidana formil (formeel delict).

b. Dengan Cara Materiil
Perumusan dengan cara materiil maksudnya adalah yang menjadi pokok larangan tindak pidana yang dirumuskan itu adalah pada penimbulan akibat tertentu, disebut dengan akibat yang dilarang atau akibat konstitutif. Titik beratnya larangan adalah pada menimbulkan akibat, sedangkan wujud perbuatan apa yang menimbulkan akibat itu tidak menjadi persoalan. Misalnya pada Pasal 338 (pembunuhan) yang menjadi larangan ialah menimbulkan akibat hilangnya nyawa orang lain, sedangkan wujud apa dari perbuatan menghilangkan nyawa itu tidaklah menjadi soal, apakah dengan menembak, meracun dan lain sebagainya.

Dalam hubungan dengan selesainya tindak pidana, maka untuk selesainya tindak pidana bukan bergantung pada selesainya wujud perbuatan, tetapi tergantung pada apakah dari wujud perbuatan itu akibat yang dilarang telah timbul atau belum. Jika wujud perbuatan telah selesai, namun akibat belum timbul tindak pidana itu belum selesai, yang terjadi adalah percobaan. Tindak pidana yang dirumuskan  dengan cara materiil disebut tindak pidana materiil (materieel delict).

3. Dari Sudut Pembedaan Tindak Pidana Anatar Bentuk Pokok, Bentuk Yang Lebih Berat dan Yang Lebih Ringan.
a. Perumusan Dalam Bentuk Pokok
Apabila dilihat dari sudut sistem pengelompokkan atau pembedaan tindak pidana antara bentuk standar (bentuk pokok) dengan bentuk yang diperberat dan bentuk yang diperingan, cara merumuskan tindak pidana dapat dibedakan antara merumuskan tindak pidana dalam bentuk pokok dan dalam bentuk yang diperberat dan atau yang lebih ringan.

Bentuk pokok pembentuk undang-undang selalu merumuskan secara sempurna, yaitu dengan mencamtumkan semua unsur-unsurnya secara lengkap. Dengan demikian rumusan bentuk pokok ini merupakan pengertian yuridis dari tindak pidana itu. Misalnya Pasal 338, 362, 372, 378, 369, 406.

b. Perumusan Dalam Bentuk Yang Diperingan dan Yang Diperberat
Rumusan dalam bentuk yang lebih berat dan atau lebih ringan dari tindak pidana yang bersangkutan, unsur-unsur bentuk pokoknya tidak diulang kembali atau dirumuskan kembali, melainkan menyebut saja pasal bentuk pokok misalnya Pasal 364, 373, 379, atau kualifikasi bentuk pokok misalnya pasal 339, 363, 365. Kemudian, menyebutkan unsur-unsur yang menyebabkan diperingan atau diperberatnya tindak pidana itu. Cara yang demikian dapat diterima mengingat merumuskan tindak pidana prinsip penghematan kata-kata, namun tegas dan jelas tetap harus dipegang teguh.

Semoga Bermanfaat..
Admin : Rahmi Nursalim, SH



Previous
Next Post »