Makalah Pokok-Pokok Perubahan KUHP (Hukum Pidana)

BAB I 
PENDAHULUAN
Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP) dan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU HAP) memiliki arti penting bagi Negara Indonesia. RUU tentang KUHP dan RUU tentang HAP ini merupakan upaya nyata untuk melakukan pembaruan hukum pidana nasional dalam rangka pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terarah dan terpadu yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang telah berlaku selama lebih dari 32 (tiga puluh dua) tahun, dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, yang kemudian dilakukan penyatuan hukum secara nasional (unifikasi) dengan Undang-Undang No. 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Republik Indonesia Tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia Dan Mengubah Undang-Undang Hukum Pidana, yang telah berlaku selama 55 (lima puluh lima) tahun. 

Tentunya kedua undang-undang tersebut, pada saat ini, sangat memerlukan penyempurnaan secara komprehensif. Landasan filosofis pembaruan Hukum Acara Pidana adalah mengedepankan kepentingan bangsa dan negara serta membatasi kewenangan alat-alat negara (khususnya Penyidik dan Penuntut Umum) secara proporsional dengan tujuan untuk lebih memberikan kepastian hukum, penegakan hukum, ketertiban hukum, keadilan masyarakat, dan perlindungan hukum serta hak asasi manusia, baik bagi tersangka, terdakwa, saksi, maupun korban, demi terselenggaranya negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sementara itu, landasan filosofis pembaharuan Kitab Hukum Pidana yang semula semata-mata diarahkan pada misi tunggal yaitu "dekolonisasi" KUHP dalam bentuk "rekodifikasi", dalam sejarah perjalanan bangsa, baik perkembangan nasional maupun internasional, mengandung pula misi yang lebih luas, yaitu misi "demokratisasi hukum pidana", "konsolidasi hukum pidana", serta "adaptasi dan harmonisasi" terhadap perkembangan hukum yang terjadi baik sebagai akibat perkembangan di bidang ilmu pengetahuan hukum pidana maupun perkembangan nilai-nilai, standar, serta norma-norma yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab di dunia internasional.

BAB II
PEMBAHASAN

POKOK-POKOK PERUBAHAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
RUU tentang KUHP ini terdiri dari 2 (dua) Buku, yakni Buku Kesatu yang mengatur mengenai Ketentuan Umum dan Buku Kedua yang mengatur mengenai Tindak Pidana yang secara keseluruhan memuat 766 pasal. KUHP nasional ini menganut sistem kodifikasi dan unifikasi hukum pidana nasional, sehingga Buku I (Ketentuan Umum) berlaku juga bagi Undang-Undang di luar KUHP dan Peraturan Daerah, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang dan Undang-Undang di luar KUHP dinyatakan tetap berlaku, sepanjang materinya tidak diatur dalam RUU KUHP.
Adapun beberapa pokok perubahan dalam Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini antara lain:

1. BUKU KESATU
  1. Pergeseran filosofi yang mendasarinya, yaitu dari pemikiran aliran klasik (classical school) yang berfokus pada perbuatan atau tindak pidana (daad – strafrecht) yang dianut oleh KUHP warisan Belanda, menjadi mendasarkan pada pemikiran aliran Neo Classic (neo classical school) yang mempertimbangkan aspek-aspek individual pelaku tindak pidana (daad-dader strafrecht) yang memiliki karakter lebih manusiawi yang berusaha menjaga keseimbangan antara faktor obyektif (perbuatan pidana) dengan faktor subyektif (sikap batin).

  2. Pembaharuan Hukum Pidana Materiil dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak lagi membedakan lagi antara Kejahatan (misdrijven) dan Pelanggaran (overtredingen) dengan menggunakan istilah tindak pidana. Sehingga KUHP baru terdiri dari 2 (dua) buku yang terdiri dari Buku Kesatu tentang Ketentuan Umum dan Buku Kedua memuat tentang Tindak Pidana.

  3. KUHP baru mengakui pula adanya tindak pidana atas dasar hukum yang hidup dalam masyarakat atau yang sebelumnya dikenal sebagai tindak pidana adat untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Sehingga hakim dapat menetapkan sanksi berupa pemenuhan kewajiban adat setempat yang harus dilaksanakan oleh pelaku tindak pidana.

  4. Subjek hukum pidana tidak hanya terbatas pada manusia (naturlijk person) tetapi juga mencakup pula korporasi yaitu kumpulan terorganisasi dari orang dan atau kekayaan, baik merupakan badan hukum (legal person) maupun bukan badan hukum. Hal ini dikarenakan korporaasi dapat dijadikan sarana untuk melakukan tindak pidana (corporate criminal) dan dapat pula memperoleh keuntungan dari suatu tindak pidana (crimes for corporation). Sehingga korporasi dianggap mampu melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Dan dimungkinkan pula pertanggungjawaban pidana dipikul bersama oleh korporasi dan pengurusnya yang memiliki kedudukan fungsional dalam korporasi atau hanya pengurusnya saja yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Sehingga dengan diatur dalam Buku Kesatu KUHP maka pertanggungjawaban pidana oleh Korporasi berlaku secara umum untuk tindak pidana lain baik didalam maupun diluar KUHP. Sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi dapat berupa pidana (straf) dan dapat pula berupa tindakan tata tertib (maatregel).

  5. Asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld) tetap merupakan salah satu asas utama dalam hukum pidana. Namun demikian dalam hal tertentu sebagai pengecualian, diumumkan penerapan asas "strict liability" dan asas "vocarious liability" Sehingga pelaku tindak pidana telah dapat dipidana hanya karena telah dipenuhinya unsur tindak pidana yang karena telah dipenuhinya unsur tindak pidana oleh perbuatannya dan tanggung jawab pidana pelaku dipandang patut dapat diperluas kepada tindakan bawahannya yang melakukan pekerjaan atau perbuatan untuknya atau dalam batas-batas perintahnya.

  6. Dalam KUHP baru diatur mengenai jenis pidana berupa :

    1) Pidana pokok:
    a. Pidana Penjara;
    b. Pidana tutupan;
    c. Pidana pengawasan;
    d. Pidana denda;
    e. Pidana kerja sosial.

    Dalam pidana pokok diatur jenis pidana baru berupa pidana pengawasan dan pidana kerja sosial. Kedua jenis pidana ini bersama dengan pidana denda perlu dikembangkan sebagai alternative dari pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek yang akan dijatuhkan oleh hakim. Sebab dengan pelaksanaan ketiga jenis pidana ini terpidana dapat dibantu untuk membebaskan diri dari rasa bersalah. Disamping untuk menghindari efek destruktif dari pidana perampasan kemerdekaan. Demikian pula masyarakat dapat berinteraksi dan berperan serta secara aktif membantu terpidana dalam menjalankan kehiduan sosialnya secara wajar dengan melakukan hal yang bermanfaat.

    2) Pidana Mati, Dan Pidana Tambahan
    Pidana mati tidak terdapat dalam urutan pidana pokok. Pidana mati ditentukan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Pidana mati adalah pidana yang paling berat dan harus selalu diancamkan secara alternatif dengan jenis pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pidana mati dapat dijatuhkan pula secara bersyarat, dengan memberikan masa percobaan, sehingga dalam tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan, dan dapat diganti dengan pidana perampasan kemerdekaan.

  7. Hakim bebas memilih jenis-jenis pidana (strafsoort) yang akan dijatuhkan di antara kelima jenis tersebut, walaupun dalam Buku Kedua Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini hanya dirumuskan tiga jenis pidana yaitu pidana penjara, pidana denda, dan pidana mati. Sedangkan jenis pidana tutupan, pidana pengawasan, dan pidana kerja sosial pada hakikatnya merupakan cara pelaksanaan pidana (strafmodus) sebagai alternatif pidana penjara.

  8. Dalam pemidanaan dianut sistem dua jalur (double track system) sebab disamping jenis pidana tersebut diatas KUHP juga mengatur pula jenis-jenis tindakan (maatregelen). Dalam hal ini hakim dapat menjatuhkan tindakan kepada mereka yang melakukan tindak pidana, tetapi tidak atau kurang mampu mempertanggung jawabkan perbuatannya yang disebabkan karena menderita gangguan jiwa atau penyaki jiwa atau retardasi mental. Disamping itu dalam hal tertentu tindakan dapat diterapkan kepada terpidana yang mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya, dengan maksud untuk memberi perlindungan kepada masyarakat dan menumbuhkan tata tertib sosial.

  9. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini diatur pula rambu-rambu pemidanaan baru yang berkaitan dengan berat ringannya pidana yakni berupa ancaman pidana minimum khusus yang sebenarnya sebelumnya juga sudah dikenal dalam perundang-undangan pidana di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pengaturan sistem pemidanaan baru ini dilakukan berdasarkan pertimbangan:

    1) Untuk menghindari adanya disparitas pidana yang sangat mencolok bagi tindak pidana yang sama atau kurang lebih sama kualitasnya;
    2) Untuk lebih mengefektifkan pengaruh prevensi umum, khususnya bagi tindak pidana yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat;
    3) Apabila dalam hal-hal tertentu maksimum pidana dapat diperberat, maka sebagai analog dipertimbangkan pula bahwa untuk minimum pidana pun dalam hal-hal tertentu dapat diperberat;
    4) Pada prinsipnya pidana minimum khusus merupakan suatu pengecualian, yaitu hanya untuk tindak pidana tertentu yang dipandang sangat merugikan, membahayakan, atau meresahkan masyarakat dan untuk tindak pidana yang dikualifikasi atau diperberat oleh akibatnya.

  10. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru ini ancaman pidana denda dirumuskan dengan menggunakan sistem kategori. Sistem ini dimaksudkan agar dalam perumusan tindak pidana tidak perlu disebutkan suatu jumlah denda tertentu, melainkan cukup dengan menunjuk kategori denda tertentu sebagaimana yang ditentukan dalam Buku Kesatu. Dasar pemikiran penggunaan sistem kategori ini adalah bahwa pidana denda termasuk jenis pidana yang relatif lebih sering berubah nilainya karena perkembangan nilai mata uang akibat situasi perekonomian. Dengan demikian, apabila terjadi perubahan nilai mata uang, dengan sistem kategori akan lebih mudah dilakukan perubahan atau penyesuaian, sebab yang diubah tidak seluruh ancaman pidana denda yang terdapat dalam perumusan tindak pidana, melainkan cukup mengubah pasal yang mengatur kategori denda dalam Buku Kesatu.

  11. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini diatur pula mengenai jenis pidana, berat ringannya pidana dan cara pelaksanaan pemidanaan secara khusus terhadap anak. Hal ini karena baik dipandang dari perkembangan fisik maupun psikis anak berbeda dari orang dewasa. Selain itu, pengaturan secara khusus terhadap anak berkaitan dengan kenyataaan bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child) dalam kerangka pemajuan dan perlindungan Hak- Hak Asasi Manusia.
2. BUKU KEDUA
  1. Untuk menghasilkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang bersifat kodifikasi dan unifikasi, di samping dilakukannya evaluasi dan seleksi terhadap pelbagai tindak pidana yang ada di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana lama, apresiasi juga dilakukan terhadap pelbagai perkembangan tindak pidana yang terjadi di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, antara lain, berbagai Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pengelolaan Lingkungan Hidup, Perlindungan Benda Cagar Budaya, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Kesehatan, Sistem Pendidikan Nasional, dan sebagainya.

  2. Secara antisipatif dan proaktif, juga dimasukkan pengaturan tentang Tindak Pidana Pornografi dan Pornoaksi, Tindak Pidana di Dunia Maya dan Tindak Pidana tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Cybercrime), Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking Crime), dan lain-lain.

  3. Di samping itu, adaptasi terhadap perkembangan tindak pidana internasional yang bersumber dari pelbagi konvensi internasional baik yang sudah diratifikasi maupun yang belum diratifikasi juga dilakukan, antara lain Tindak Pidana Penyiksaan atas dasar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia), 1984. Di samping itu secara antisipatif diatur pula Kejahatan Perang (War Crimes) yang bersumber pada Statuta Roma 1998 tentang International Criminal Court, dan perluasan Tindak Pidana Korupsi yang bersumber pada United Nations Convention Against Corruption (2003).

  4. Dengan sistem perumusan tindak pidana semacam itu, maka penambahan beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, khususnya di dalam Buku II tak dapat dihindarkan. Dalam hal ini terlihat beberapa Bab baru seperti Bab VI tentang Tindak Pidana Terhadap Proses Peradilan, Bab VII tentang Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama, Bab IX tentang Tindak Pidana Terhadap Hak Asasi Manusia, Bab XVII tentang Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika, dan Bab XXXII tentang Tindak Pidana Korupsi.

  5. Sejalan dengan proses globalisasi, lajunya pembangunan dan perkembangan sosial yang disertai dengan mobilitas sosial yang cepat serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih, diperkirakan jenis tindak pidana baru masih akan muncul di kemudian hari. Oleh karena itu, terhadap jenis tindak pidana baru yang akan muncul yang belum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru ini, pengaturannya tetap dapat dilakukan melalui amandemen terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau mengaturnya dalam Undang-Undang tersendiri karena kekhususannya atas dasar Pasal 211 Buku Kesatu.
BAB III
PENUTUP
Pembahasan dan harmonisasi Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana dan Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana diselaraskan, disesuaikan dan dipadukan dengan pembahasan RUU Kejaksaan dan RUU Mahkamah Agung, yang diharapkan dapat mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu/integrated criminal justice system yang mencakup sub-sistem Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. 

Selain itu juga Perubahan Undang-undang tersebut juga diharapkan dapat menjamin kepastian hukum, penegakan hukum yang berkeadilan, ketertiban hukum, keadilan masyarakat, dan perlindungan hukum serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia terutama dengan harapan dapat terjaminnya keseimbangan hak antara Penyidik dan penuntun umum serta baik bagi tersangka dan/atau terdakwa (termasuk Penasihat Hukumnya), saksi, maupun korban, demi terselenggaranya negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Makalah Mahasiswa Hukum
Andi Akbar Muzfa, SH.



Previous
Next Post »