BAB I
PENDAHULUAN
Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP) dan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU HAP) memiliki arti penting bagi Negara Indonesia. RUU tentang KUHP dan RUU tentang HAP ini merupakan upaya nyata untuk melakukan pembaruan hukum pidana nasional dalam rangka pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terarah dan terpadu yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang telah berlaku selama lebih dari 32 (tiga puluh dua) tahun, dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, yang kemudian dilakukan penyatuan hukum secara nasional (unifikasi) dengan Undang-Undang No. 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Republik Indonesia Tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia Dan Mengubah Undang-Undang Hukum Pidana, yang telah berlaku selama 55 (lima puluh lima) tahun. Tentunya kedua undang-undang tersebut, pada saat ini, sangat memerlukan penyempurnaan secara komprehensif.
Landasan filosofis pembaruan Hukum Acara Pidana adalah mengedepankan kepentingan bangsa dan negara serta membatasi kewenangan alat-alat negara (khususnya Penyidik dan Penuntut Umum) secara proporsional dengan tujuan untuk lebih memberikan kepastian hukum, penegakan hukum, ketertiban hukum, keadilan masyarakat, dan perlindungan hukum serta hak asasi manusia, baik bagi tersangka, terdakwa, saksi, maupun korban, demi terselenggaranya negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sementara itu, landasan filosofis pembaharuan Kitab Hukum Pidana yang semula semata-mata diarahkan pada misi tunggal yaitu "dekolonisasi" KUHP dalam bentuk "rekodifikasi", dalam sejarah perjalanan bangsa, baik perkembangan nasional maupun internasional, mengandung pula misi yang lebih luas, yaitu misi "demokratisasi hukum pidana", "konsolidasi hukum pidana", serta "adaptasi dan harmonisasi" terhadap perkembangan hukum yang terjadi baik sebagai akibat perkembangan di bidang ilmu pengetahuan hukum pidana maupun perkembangan nilai-nilai, standar, serta norma-norma yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab di dunia internasional.
BAB II
PEMBAHASAN
I. MEKANISME HARMONISASI PEMBAHASAN DI DPR RI
Merujuk pada tugas dan kewenangan DPR RI dalam membuat dan membahas undang-undang (legislasi), sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 20A, dan Pasal 21 UUD 1945. Juncto Pasal 69 (1) UU No. 27 Tahun 2009 tentang MD3, yang menyebutkan bahwa DPR mempunyai fungsi: 1) Legislasi; 2) Anggaran; dan 3) Pengawasan. Fungsi legislasi tersebut merupakan perwujudan DPR selaku pemegang kekuasaan membentuk undang-undang.
Kemudian, dalam Pasal 22A UUD 1945 mengatur mengenai mekanisme pembentukan undang-undang, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pembentukan undang-undang tersebut, meliputi kegiatan: Perencanaan; Penyusunan; Pembahasan; Pengesahan, dan Pengundangan.
- Tahap Perencanaan
Dalam tahap ini, kegiatan pembuatan perundang-undangan dimulai dari penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Dalam proses penyusunan Prolegnas, penentuan arah kebijakan dan penyusunan daftar judul dilakukan pemerintah mapun di DPR RI secara terpisah. Di pihak DPR, penyusunan Prolegnas dilakukan dengan menggalang masukan dari anggota DPR, fraksi, komisi, DPD dan masyarakat yang dilakukan oleh Badan Legislasi.
Tahapan selanjutnya adalah koordinasi dan pembahasan daftar Prolegnas dengan pihak Pemerintah. Daftar Prolegnas dari pihak DPR dan Daftar Prolegnas dari pihak Pemerintah kemudian menjadi objek diskusi antara DPR dan Pemerintah untuk mendapat persetujuan bersama. Setelah disepakati oleh DPR dan Pemerintah, Prolegnas kemudian dilaporkan oleh Badan Legislasi dalam rapat paripurna untuk ditetapkan. - Tahap Penyusunan
Anggota DPR, komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, dan DPD dapat mengajukan RUU sebagai usul inisiatif. Rancangan undang-undang yang disusun oleh Anggota, komisi, gabungan komisi, DPD, dan Badan Legislasi harus berdasarkan Prolegnas prioritas tahunan. Anggota, komisi, gabungan komisi, DPD, dan Badan Legislasi dalam mempersiapkan rancangan undang-undang terlebih dahulu menyusun naskah akademik mengenai materi yang akan diatur dalam rancangan undang-undang.
Dalam penyusunan rancangan undang-undang, anggota, komisi, gabungan komisi, DPD, atau Badan Legislasi dapat meminta masukan dari masyarakat sebagai bahan bagi panitia kerja untuk menyempurnakan konsepsi rancangan undang-undang.Rancangan undang-undang yang telah dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi, selanjutnya disampaikan dalam rapat paripurna untuk diputuskan menjadi rancangan undang-undang dari DPR. - Tahap Pembahasan
Setelah RUU tersebut telah diharmonisasikan, diselesaikan, dan dikonsolidasikan oleh Dewan Perundang-undangan (untuk RUU DPR) atau setelah RUU telah disetujui oleh Presiden untuk disampaikan ke DPR (untuk RUU Pemerintah), RUU berjalan ke tingkat musyawarah. Pembahasan rancangan undang-undang dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan: Pertama, Pembicaraan Tingkat I, yaitu pembicaraan dalam Rapat Komisi, Rapat Gabungan Komisi, Rapat Badan Legislasi, Rapat Panitia Khusus, atau Rapat Badan Anggaran bersama dengan Menteri yang mewakili Presiden; Kedua, Pembicaraan Tingkat II dalam rapat paripurna.
Pembahasan rancangan undang-undang dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) kali masa sidang dan dapat diperpanjang oleh Badan Musyawarah untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) kali masa sidang.
Kemudian, baik DPR dan Pememrintah menginventarisasi dan membuat Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) diajukan oleh: Presiden, apabila rancangan undang-undang berasal dari DPR; atau DPR, apabila rancangan undang-undang berasal dari Presiden. Kemudian, Penyampaian pendapat mini disampaikan pada akhir Pembicaraan Tingkat I oleh: fraksi; DPD, apabila rancangan undang-undang berkaitan dengan kewenangan DPD; dan Presiden.
Saat ini Komisi III DPR RI sedang membahas 4 RUU, antara lain: RUU Kejaksaan Agung, RUU Mahkamah Agung yang merupakan inisiatif DPR RI, sementara RUU KUHP dan RUU HAP dalam Prolegnas Tahun 2013 merupakan inisiatif Pemerintah dan dalam keterangannya disebutkan RUU dan NA disipkan oleh Kementrian Hukum dan HAM RI. Pada Masa Sidang III 2012/2013, RUU KUHP dan RUU HAP mulai dipersiapkan untuk dibahas di Komisi III DPR RI. RUU KUHP yang telah disampaikan Presiden kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) melalui surat nomor R-88/Pres/12/2012 tanggal 11 Desember 2012. RUU HAP telah disampaikan Presiden kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) melalui surat nomor R-87/Pres/12/2012 tanggal 11 Desember 2012. Kemudian, berdasarkan Surat No. PW/01104/ DPR-RI/ I/ 2013 Tertanggal 31 Januari 2013, Komisi III DPR RI melakukan pembahasan RUU KUHP dan RUU KUHAP. Komisi III telah melakukan beberapa kegiatan dalam melakukan harmonisasi pembahasan terhadap RUU KUHP dan RUU HAP, antara lain dengan mengundang para pakar hukum, baik yang terlibat secara langsung dalam pembuatan RUU ataupun yang tidak, untuk berbagi pengalaman dan keilmuan dengan anggota Komisi III DPR RI terkait dengan pembuatan RUU KUHP dan RUU HAP. (Hukum Pidana)
Selanjutnya, Komisi III DPR RI juga melakukan kunjungan ke daerah-daerah untuk menggali, menginventarisasi dan menerima masukan-masukan dari para user's KUHP dan KUHAP. Sementara itu, untuk beberapa materi, khususnya yang terdapat dalam RUU HAP, misalnya dibentuknya Hakim Pemeriksa Pendahulu (Hakim Komisaris), perlu dilakukan studi banding ke Luar Negeri. - Tahap Pengesahan
Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang. Penyampaian Rancangan Undang-Undang dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. - Tahap Pengundangan
Pengundangan adalah penempatan undang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, dan penjelasan undang-undang dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia. Pengundangan dilaksanakan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
II. POKOK-POKOK PERUBAHAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
RUU tentang KUHP ini terdiri dari 2 (dua) Buku, yakni Buku Kesatu yang mengatur mengenai Ketentuan Umum dan Buku Kedua yang mengatur mengenai Tindak Pidana yang secara keseluruhan memuat 766 pasal. KUHP nasional ini menganut sistem kodifikasi dan unifikasi hukum pidana nasional, sehingga Buku I (Ketentuan Umum) berlaku juga bagi Undang-Undang di luar KUHP dan Peraturan Daerah, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang dan Undang-Undang di luar KUHP dinyatakan tetap berlaku, sepanjang materinya tidak diatur dalam RUU KUHP.
Adapun beberapa pokok perubahan dalam Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini antara lain:
1. BUKU KESATU
- Pergeseran filosofi yang mendasarinya, yaitu dari pemikiran aliran klasik (classical school) yang berfokus pada perbuatan atau tindak pidana (daad – strafrecht) yang dianut oleh KUHP warisan Belanda, menjadi mendasarkan pada pemikiran aliran Neo Classic (neo classical school) yang mempertimbangkan aspek-aspek individual pelaku tindak pidana (daad-dader strafrecht) yang memiliki karakter lebih manusiawi yang berusaha menjaga keseimbangan antara faktor obyektif (perbuatan pidana) dengan faktor subyektif (sikap batin).
- Pembaharuan Hukum Pidana Materiil dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak lagi membedakan lagi antara Kejahatan (misdrijven) dan Pelanggaran (overtredingen) dengan menggunakan istilah tindak pidana. Sehingga KUHP baru terdiri dari 2 (dua) buku yang terdiri dari Buku Kesatu tentang Ketentuan Umum dan Buku Kedua memuat tentang Tindak Pidana.
- KUHP baru mengakui pula adanya tindak pidana atas dasar hukum yang hidup dalam masyarakat atau yang sebelumnya dikenal sebagai tindak pidana adat untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Sehingga hakim dapat menetapkan sanksi berupa pemenuhan kewajiban adat setempat yang harus dilaksanakan oleh pelaku tindak pidana.
- Subjek hukum pidana tidak hanya terbatas pada manusia (naturlijk person) tetapi juga mencakup pula korporasi yaitu kumpulan terorganisasi dari orang dan atau kekayaan, baik merupakan badan hukum (legal person) maupun bukan badan hukum. Hal ini dikarenakan korporaasi dapat dijadikan sarana untuk melakukan tindak pidana (corporate criminal) dan dapat pula memperoleh keuntungan dari suatu tindak pidana (crimes for corporation). Sehingga korporasi dianggap mampu melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Dan dimungkinkan pula pertanggungjawaban pidana dipikul bersama oleh korporasi dan pengurusnya yang memiliki kedudukan fungsional dalam korporasi atau hanya pengurusnya saja yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Sehingga dengan diatur dalam Buku Kesatu KUHP maka pertanggungjawaban pidana oleh Korporasi berlaku secara umum untuk tindak pidana lain baik didalam maupun diluar KUHP. Sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi dapat berupa pidana (straf) dan dapat pula berupa tindakan tata tertib (maatregel).
- Asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld) tetap merupakan salah satu asas utama dalam hukum pidana. Namun demikian dalam hal tertentu sebagai pengecualian, diumumkan penerapan asas "strict liability" dan asas "vocarious liability" Sehingga pelaku tindak pidana telah dapat dipidana hanya karena telah dipenuhinya unsur tindak pidana yang karena telah dipenuhinya unsur tindak pidana oleh perbuatannya dan tanggung jawab pidana pelaku dipandang patut dapat diperluas kepada tindakan bawahannya yang melakukan pekerjaan atau perbuatan untuknya atau dalam batas-batas perintahnya.
- Dalam KUHP baru diatur mengenai jenis pidana berupa :
1) Pidana pokok:
a. Pidana Penjara;
b. Pidana tutupan;
c. Pidana pengawasan;
d. Pidana denda;
e. Pidana kerja sosial.
Dalam pidana pokok diatur jenis pidana baru berupa pidana pengawasan dan pidana kerja sosial. Kedua jenis pidana ini bersama dengan pidana denda perlu dikembangkan sebagai alternative dari pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek yang akan dijatuhkan oleh hakim. Sebab dengan pelaksanaan ketiga jenis pidana ini terpidana dapat dibantu untuk membebaskan diri dari rasa bersalah. Disamping untuk menghindari efek destruktif dari pidana perampasan kemerdekaan. Demikian pula masyarakat dapat berinteraksi dan berperan serta secara aktif membantu terpidana dalam menjalankan kehiduan sosialnya secara wajar dengan melakukan hal yang bermanfaat.
2) Pidana Mati, Dan Pidana Tambahan
Pidana mati tidak terdapat dalam urutan pidana pokok. Pidana mati ditentukan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Pidana mati adalah pidana yang paling berat dan harus selalu diancamkan secara alternatif dengan jenis pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pidana mati dapat dijatuhkan pula secara bersyarat, dengan memberikan masa percobaan, sehingga dalam tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan, dan dapat diganti dengan pidana perampasan kemerdekaan. - Hakim bebas memilih jenis-jenis pidana (strafsoort) yang akan dijatuhkan di antara kelima jenis tersebut, walaupun dalam Buku Kedua Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini hanya dirumuskan tiga jenis pidana yaitu pidana penjara, pidana denda, dan pidana mati. Sedangkan jenis pidana tutupan, pidana pengawasan, dan pidana kerja sosial pada hakikatnya merupakan cara pelaksanaan pidana (strafmodus) sebagai alternatif pidana penjara.
- Dalam pemidanaan dianut sistem dua jalur (double track system) sebab disamping jenis pidana tersebut diatas KUHP juga mengatur pula jenis-jenis tindakan (maatregelen). Dalam hal ini hakim dapat menjatuhkan tindakan kepada mereka yang melakukan tindak pidana, tetapi tidak atau kurang mampu mempertanggung jawabkan perbuatannya yang disebabkan karena menderita gangguan jiwa atau penyaki jiwa atau retardasi mental. Disamping itu dalam hal tertentu tindakan dapat diterapkan kepada terpidana yang mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya, dengan maksud untuk memberi perlindungan kepada masyarakat dan menumbuhkan tata tertib sosial.
- Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini diatur pula rambu-rambu pemidanaan baru yang berkaitan dengan berat ringannya pidana yakni berupa ancaman pidana minimum khusus yang sebenarnya sebelumnya juga sudah dikenal dalam perundang-undangan pidana di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pengaturan sistem pemidanaan baru ini dilakukan berdasarkan pertimbangan:
1) Untuk menghindari adanya disparitas pidana yang sangat mencolok bagi tindak pidana yang sama atau kurang lebih sama kualitasnya;
2) Untuk lebih mengefektifkan pengaruh prevensi umum, khususnya bagi tindak pidana yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat;
3) Apabila dalam hal-hal tertentu maksimum pidana dapat diperberat, maka sebagai analog dipertimbangkan pula bahwa untuk minimum pidana pun dalam hal-hal tertentu dapat diperberat;
4) Pada prinsipnya pidana minimum khusus merupakan suatu pengecualian, yaitu hanya untuk tindak pidana tertentu yang dipandang sangat merugikan, membahayakan, atau meresahkan masyarakat dan untuk tindak pidana yang dikualifikasi atau diperberat oleh akibatnya. - Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru ini ancaman pidana denda dirumuskan dengan menggunakan sistem kategori. Sistem ini dimaksudkan agar dalam perumusan tindak pidana tidak perlu disebutkan suatu jumlah denda tertentu, melainkan cukup dengan menunjuk kategori denda tertentu sebagaimana yang ditentukan dalam Buku Kesatu. Dasar pemikiran penggunaan sistem kategori ini adalah bahwa pidana denda termasuk jenis pidana yang relatif lebih sering berubah nilainya karena perkembangan nilai mata uang akibat situasi perekonomian. Dengan demikian, apabila terjadi perubahan nilai mata uang, dengan sistem kategori akan lebih mudah dilakukan perubahan atau penyesuaian, sebab yang diubah tidak seluruh ancaman pidana denda yang terdapat dalam perumusan tindak pidana, melainkan cukup mengubah pasal yang mengatur kategori denda dalam Buku Kesatu.
- Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini diatur pula mengenai jenis pidana, berat ringannya pidana dan cara pelaksanaan pemidanaan secara khusus terhadap anak. Hal ini karena baik dipandang dari perkembangan fisik maupun psikis anak berbeda dari orang dewasa. Selain itu, pengaturan secara khusus terhadap anak berkaitan dengan kenyataaan bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child) dalam kerangka pemajuan dan perlindungan Hak- Hak Asasi Manusia.
2. BUKU KEDUA
- Untuk menghasilkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang bersifat kodifikasi dan unifikasi, di samping dilakukannya evaluasi dan seleksi terhadap pelbagai tindak pidana yang ada di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana lama, apresiasi juga dilakukan terhadap pelbagai perkembangan tindak pidana yang terjadi di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, antara lain, berbagai Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pengelolaan Lingkungan Hidup, Perlindungan Benda Cagar Budaya, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Kesehatan, Sistem Pendidikan Nasional, dan sebagainya.
- Secara antisipatif dan proaktif, juga dimasukkan pengaturan tentang Tindak Pidana Pornografi dan Pornoaksi, Tindak Pidana di Dunia Maya dan Tindak Pidana tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Cybercrime), Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking Crime), dan lain-lain.
- Di samping itu, adaptasi terhadap perkembangan tindak pidana internasional yang bersumber dari pelbagi konvensi internasional baik yang sudah diratifikasi maupun yang belum diratifikasi juga dilakukan, antara lain Tindak Pidana Penyiksaan atas dasar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia), 1984. Di samping itu secara antisipatif diatur pula Kejahatan Perang (War Crimes) yang bersumber pada Statuta Roma 1998 tentang International Criminal Court, dan perluasan Tindak Pidana Korupsi yang bersumber pada United Nations Convention Against Corruption (2003).
- Dengan sistem perumusan tindak pidana semacam itu, maka penambahan beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, khususnya di dalam Buku II tak dapat dihindarkan. Dalam hal ini terlihat beberapa Bab baru seperti Bab VI tentang Tindak Pidana Terhadap Proses Peradilan, Bab VII tentang Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama, Bab IX tentang Tindak Pidana Terhadap Hak Asasi Manusia, Bab XVII tentang Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika, dan Bab XXXII tentang Tindak Pidana Korupsi.
- Sejalan dengan proses globalisasi, lajunya pembangunan dan perkembangan sosial yang disertai dengan mobilitas sosial yang cepat serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih, diperkirakan jenis tindak pidana baru masih akan muncul di kemudian hari. Oleh karena itu, terhadap jenis tindak pidana baru yang akan muncul yang belum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru ini, pengaturannya tetap dapat dilakukan melalui amandemen terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau mengaturnya dalam Undang-Undang tersendiri karena kekhususannya atas dasar Pasal 211 Buku Kesatu.
III. POKOK PERUBAHAN HUKUM ACARA PIDANA
Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana memiliki 11 (sebelas) pokok perubahan yang mendasar terkait pembaharuan sistem beracara pidana di Indonesia yakni antara lain:
1. Asas Legalitas
Dalam hal ini, dipertegas adanya asas legalitas demi terciptanya kepastian hukum dalam hukum acara pidana sehingga ketentuan hukum tak tertulis tidak dapat dijadikan dasar untuk melakukan tindakan dalam lingkup hukum acara pidana. Ditentukan pula bahwa ruang lingkup berlakukanya hukum acara peradilan pidana pada semua tingkat peradilan termasuk didalamnya pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan umum. Hal ini berakibat bahwa peraturan perundang-undangan lain tidak dapat mengatur substansi hukum acara pidana.
2. Hubungan Penyidik - Penuntut Umum
Dalam Rancangan HAP ini, pada saat penyidikan dimulai dan diberitahukan kepada penuntut umum, penuntut umum sudah memberi petunjuk, bukan ketika berkas sudah selesai disusun oleh penyidik. Jadi penuntut umum bisa memberikan petunjuk baik secara langsung maupun tidak langsung sejak saat dimulainya penyidikan. Dalam hal kewenangan penuntut umum, yakni kewenangan prapenuntutan juga telah ditiadakan. Dalam RUU HAP, kewenangan prapenuntutan, penangkapan dalam tahap penyelidikan, penahanan rumah/kota; masa perpanjangan penahanan karena alasan tertentu juga dihapuskan. Selain itu RUPBASAN (Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara) juga dihapuskan, dengan memberikan kewenangan pada masing-masing instansi yang melakukan penyitaan sesuai dengan tingkat pemeriksaan.
3. Menuju Sistem Adversarial.
Pasal 4 RUU HAP mengatur bahwa Acara Pidana dilaksanakan secara "wajar" dan "perpaduan antara sistem hakim aktif dan para pihak berlawanan secara berimbang". Dalam Rancangan Undang-Undang ketentuan beracara sudah mengarah ke sistem adversarial yang menjamin keseimbangan hak para pihak yang berlawanan yakni antara penyidik, penuntut umum dan /atau tersangka atau terdakwa dan penasihat hukumnya. Dengan demikian, peran aktif hakim yang memimpin sidang berkurang. Peranan berita acara juga berkurang oleh karena kedua pihak penuntut umum dan terdakwa/penasihat hukum dapat menambah alat bukti (saksi) baru di sidang pengadilan yang dapat ditolak oleh hakim, jika segalanya sudah jelas dan terang.
Dengan sendirinya tidak diperlukan P-21 (pernyataan Penuntut Umum bahwa berkas telah lengkap) karena penuntut umum walaupun pada saat proses persidangan sudah dimulai, masih dapat meminta bantuan penyidik untuk menambah pemeriksaan seperti pengajuan saksi baru untuk melawan saksi yang diajukan penasihat hukum. Tujuan dari sistem ini mengharuskan penuntut umum dan penyidik bekerjasama erat untuk suksesnya penuntutan. Adanya keberatan jika penuntut umum menambah sendiri pemeriksaan juga menjadi tidak beralasan, karena pada saat sidang sedang berlangsung pun penuntut umum dapat menambah alat bukti baru, terutama untuk menyanggah alat bukti baru a'de charge yang diajukan terdakwa / penasihat hukum. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 152 Rancangan, yang berbunyi:
- Ayat (1): "Penuntut umum dan terdakwa atau penasihat hukum terdakwa diberi kesempatan menyampaikan penjelasan singkat untuk menguraikan bukti dan saksi yang hendak diajukan oleh mereka pada persidangan";
- Ayat (2): "Sesudah pernyataan pembuka, saksi dan ahli memberikan keterangan";
- Ayat (3): "Urutan saksi dan ahli ditentukan oleh pihak yang memanggil";
- Ayat (4): "Penuntut umum mengajukan saksi, ahli, dan buktinya terlebih dahulu";
- Ayat (5) "Apabila hakim menyetujui saksi dan ahli yang diminta oleh Penasihat hukum untuk dihadirkan, maka hakim memerintahkan kepada Penuntut Umum untuk memanggil saksi dan ahli yang diajukan oleh Penasihat Hukum tersebut";
- Ayat (10): "Setelah pemeriksaan terdakwa, Penuntut Umum dapat memanggil saksi atau ahli tambahan untuk menyanggah pembuktian dari penasihat hukum selama persidangan".
Prinsip Adversarial yang terkandung dalam ketentuan ini pada prinsipnya telah sejalan dengan pasal 5 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menyatakan bahwa "Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas, dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan". Dalam rancangan undang-undang advokat yang saat ini sedang dalam pembahasan di DPR RI pun kembali menguatkan posisi advokat sebagai pembela kepentingan hukum klien dan masyarakat demi kebenaran dan keadilan serta kedudukan advokat sebagai salah satu pilar penegakan hukum yang bebas dan mandiri. Sehingga semakin menguatkan dan menjamin keseimbangan hak diantara lembaga peradilan, penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan, dan juga tersangka dan/atau terdakwa termasuk advokat sebagai penasihat hukum tersangka dan/atau terdakwa.
4. Alat Bukti
Alat bukti dalam RUU ini mengubah jenis-jenis alat bukti sebelumnya, sehingga berdasarkan Pasal 175 Rancangan alat bukti yang sah mencakup:
- barang bukti
- surat-surat;
- bukti eletronik;
- keterangan seorang ahli;
- keterangan seorang saksi;
- keterangan terdakwa;
- pengamatan hakim
- Penyadapan
Penyadapan diperkenalkan dalam Rancangan, akan tetapi diberi persyaratan yang ketat. Pasal 83 ayat (1) Rancangan berbunyi : "Penyadapan pembicaraan melalui telepon atau alat telekomunikasi yang lain dilarang, kecuali dilakukan terhadap pembicaraan yang terkait dengan tindak pidana serius atau diduga keras akan terjadi tindak pidana serius tersebut, yang tidak dapat diungkap jika tidak dilakukan penyadapan". Sehingga pada prinsipnya penyadapan dilarang. Penyadapan dengan demikian bersifat pengecualian. Tindak pidana serius dijelaskan dalam Pasal 83 ayat (2) Rancangan adalah tindak pidana :
- Terhadap Keamanan Negara (Bab I Buku II KUHP);
- Perampasan Kemerdekaan/Penculikan (Pasal 333 KUHP);
- Pencurian Dengan Kekerasan (Pasal 365 KUHP);
- Pemerasan (Pasal 368 KUHP);
- Pengancaman (Pasal 368 KUHP);
- Perdagangan Orang;
- Penyelundupan;
- Korupsi;
- Pencucian Uang;
- Pemalsuan Uang;
- Keimigrasian;
- Mengenai Bahan Peledak Dan Senjata Api;
- Terorisme;
- Pelanggaran Berat HAM;
- Psikotropika Dan Narkotika; Dan
- Pemerkosaan
Penyadapan pun dilakukan dengan perintah tertulis atasan penyidik setempat setelah mendapat izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Dengan demikian, tidak ada kecuali, KPK pun melakukan penyadapan harus dengan izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Pengecualian izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam keadaan mendesak dibatasi dan tetap dilaporkan kepada hakim melalui penuntut umum.
6. Saksi Mahkota Dan Plea Bargaining
Saksi mahkota (krron getuigen/crown witness) ialah salah seorang tersangka/terdakwa yang paling ringan perannya dalam delik terorganisasi yang bersedia mengungkap delik itu, dan untuk "jasanya" itu dia dikeluarkan dari daftar tersangka/terdakwa dan dijadikan saksi. Jika tidak ada peserta (tersangka/terdakwa) yang ringan perannya dan tidak dapat dimaafkan begitu saja, tetap diambil yang paling ringan perannya dan dijadikan saksi kemudian menjadi terdakwa dengan janji oleh penuntut umum akan menuntut pidana yang lebih ringan dari kawan berbuatnya yang lain.
Hal ini tercantum di dalam Pasal 199 Rancangan yang berjudul jalur khusus pada saat penuntut umum membacakan surat dakwaan, terdakwa mengakui semua perbuatan yang didakwakan dan mengaku bersalah melakukan tindak pidana yang ancaman pidana yang didakwakan tidak lebih dari tujuh tahun penjara, penuntut umum dapat melimpahkan perkara ke sidang acara pemeriksaan singkat. Pidana yang dijatuhkan tidak boleh lebih dari 2/3 dari maksimum. Di sinilah letak pengakuan yang memberi keuntungan (semacam plea bargaining). Hakim dapat menolak pengakuan ini dan meminta penuntut umum mengajukan ke sidang pemeriksaan biasa.
7. Asas Oportunitas
Berbeda dengan Inggris, Perancis, Belgia, Rusia, Thailand, RRC dan Filipina yang swasta (korban) langsung dapat melakukan penuntutan ke pengadilan tanpa melalui Penyidik dan Jaksa. Biasanya hanya untuk perkara ringan, seperti penghinaan, penganiayaan (ringan), penipuan, dll. Di Thailand ada tiga macam penuntutan, yaitu yang dilakukan oleh penuntut umum (public prosecutor), swasta atau korban dan gabungan antara swasta (korban) dan jaksa yang disebut joint prosecution.
Hal ini disebabkan karena penuntutan pidana itu memerlukan keahlian teknis-yuridis. Belum terpikirkan untuk memperkenalkan private prosecution di Indonesia, karena hal itu berarti akan merombak seluruh sistem acara pidana. Oleh karena Indonesia menganut asas oportunitas, sama dengan Belanda, Perancis, Jepang, Korea, Israel dll, maka diperkenalkan penyelesaian perkara di luar pengadilan (afdoening buiten proces). Hal ini sesuai dengan asas peradilan cepat, biaya murah dan sederhana. Asas oportunitas secara global diartikan "The public prosecutor may decide conditionally or unconditionally to make prosecution to court or not." (Penuntut Umum boleh menentukan menuntut atau tidak menuntut ke pengadilan dengan syarat atau tanpa syarat.").
Penyelesaian di luar pengadilan tercantum di dalam Pasal 42 ayat (2) dan (3) Rancangan. Pasal 42 ayat (2) berbunyi: "Penuntut umum juga berwenang demi kepentingan umum dan/atau alasan tertentu menghentikan penuntutan baik dengan syarat maupun tanpa syarat. Hal ini agaknya perlu dikaji lebih dalam mengingat asas oportunitas yang disebut di dalam undang-undang Kejaksaan, benar-benar untuk kepentingan umum termasuk delik berat, akan tetapi hanya Jaksa Agung yang boleh menerapkannya.
8. Penyelesaian Perkara Di Luar Pengadilan
Seperti pada asas oportunitas yang telah dijelaskan sebelumnya, yang tetap mengutamakan asas peradilan yang cepat, ringan, dan sederhana, maka RUU ini bertujuan untuk mengatur pula penyelesaian perkara di luar pengadilan terhadap perkara-perkara tertentu. Pasal 42 ayat (3) menyebut syarat-syaratnya yakni:
- tindak pidana yang dilakukan bersifat ringan;
- tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;
- tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda;
- umur tersangka pada waktu melakukan tindak pidana di atas tujuh puluh tahun;dan/atau
- kerugian sudah diganti.
Oleh karena Pasal 42 Rancangan menyebut maksimum pidana empat tahun penjara, maka sebagai contoh tindak pidana pencurian yang ancaman pidananya lima tahun penjara tidak termasuk penyelesaian di luar pengadilan, kecuali pelaku yang berumur 70 tahun atau lebih. Penyelesaian di luar pengadilan ini termasuk peradilan restoratif (restorative justice). Hukum Islam mengenal restoratice justice bahkan sampai delik berat seperti pembunuhan yang disebut diat. Akan tetapi ada perbedaan karena penyelesaian di luar pengadilan (afdoening buiten proces) hanya untuk delik ringan dan motifnya pun harus ringan.
9. Penahanan
Dengan diratifikasikannya International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang menunjukkan pada Pasal 9 bahwa jika Penyidik melakukan penangkapan, maka promptly harus membawa tersangka (secara fisik) ke hakim yang akan melakukan penahanan. Dalam RUU dipertegas bahwa penahanan (termasuk juga penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan) memerlukan perintah tertulis dari pejabat yang berwenang.
Jangka waktu penahanan perlu disesuaikan dengan ICCPR, yang menentukan bahwa seseorang yang ditangkap dan ditahan berdasarkan tindak pidana wajib segera dibawa secara fisik ke depan hakim untuk disidangkan atau dibebaskan. Dalam Pasal 60 RUU ini, disepakati jangka waktu yang wajar adalah 5 (lima) hari dengan ketentuan waktu tempuh perjalanan tersangka ke tempat penahanan tidak dihitung.
Barulah kemudian, ia dibawa kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan yang menandatangani surat perintah penahanan selama 25 (dua puluh lima) hari, yang formulirnya dipegang dan diisi oleh penuntut umum (Penyidik yang membawa, namun penuntut umum yang memegang dan mengisi formulir surat perintah penahanan, sedangkan hakim pemeriksa pendahuluan berwenang menyetujui atau tidak menyetujui penahanan) Perpanjangan penahanan selanjutnya dilakukan oleh Hakim Pengadilan Negeri.
10. Hakim Pemeriksa Pendahuluan
Hakim Pemeriksa Pendahuluan merupakan revitalisasi dari Hakim Praperadilan. Inilah hal yang mungkin menjadi isu paling krusial dalam RUU ini untuk dikaji lebih mendalam. Salah satu wewenang hakim Pemeriksa Pendahuluan versi Rancangan ialah menentukan layak tidaknya suatu perkara diajukan ke pengadilan atas permohonan jaksa (pretrial). Dengan demikian, jika jaksa tidak menuntut dan terjadi desakan masyarakat awam, jaksa dapat menunjuk putusan hakim Pemeriksa Pendahuluan. Namun demikian, jika kemudian ditemukan bukti baru, dapat diajukan lagi ke hakim Pemeriksa Pendahuluan agar penuntutan dapat dilakukan.
Dalam pemeriksaan itu, tersangka dan saksi dapat didengar keterangannya begitu pula konklusi penuntut umum. Dengan dibentuknya lembaga Hakim Pemeriksaan Pendahuluan ini, maka diharapkan dapat dicapai tujuan hukum acara pidana due process of law atau behoorlijk procesrecht. Tujuan hukum acara pidana ialah mencari kebenaran materiel (objective truth) dan melindungi hak asasi terdakwa jangan sampai terjadi orang tidak bersalah dijatuhi pidana di samping perhatian kepada korban kejahatan.
Wewenang Hakim Pemeriksa Pendahuluan diatur di dalam Pasal 111 ayat (1) Rancangan berupa menetapkan atau memutuskan :
- sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan atau penyadapan;
- pembatalan atau penangguhan penahanan;
- bahwa keterangan yang dibuat oleh tersangka atau terdakwa dengan melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri;
- alat bukti atau pernyataan yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat dijadikan alat bukti;
- ganti kerugian dan/atau rehabilitasi untuk seseorang yang ditangkap atau ditahan secara tidak sah atau ganti kerugian untuk setiap hak milik yang disita secara tidak sah;
- tersangka atau terdakwa berhak untuk atau diharuskan untuk didampingi oleh pengacara;
- bahwa penyidikan atau Penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang tidak sah;
- penghentian Penyidikan atau penghentian Penuntutan yang tidak berdasarkan asas oportunitas;
- layak atau tidak layak suatu perkara untuk dilakukan Penuntutan ke pengadilan;
- pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama tahap penyidikan.
- Sebenarnya, hampir semua wewenang ini sudah dimiliki oleh hakim praperadilan, kecuali yang tersebut pada butir c, d. f, g, i. Beberapa wewenang yang berdasarkanKUHAP 1981 ada di tangan atau mestinya diberikan kepada ketua Pengadilan Negeri dibebankan kepada hakim Pemeriksa Pendahuluan seperti izin penggeledahan, penyitaan, penyadapan. Begitu pula perpanjangan penahanan dalam tahap penyidikan dan penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum selama 40 (empat puluh) hari, berpindah ke hakim komisaris selama 25 hari, selanjutnya diperpanjang oleh hakim Pengadilan Negeri selama tiga kali 30 (tiga puluh) hari, walaupun formulir diisi dan diajukan oleh penuntut umum.
- Selama menjabat, hakim Pemeriksaan Pendahuluan dibebaskan dari tugas mengadili semua jenis perkara dan tugas lain yang berhubungan dengan tugas Pengadilan Negeri (Pasal 119 Rancangan). Inilah perbedaan antara hakim Pemeriksa Pendahuluan dan hakim praperadilan. Selama menjabat hakim Pemeriksa Pendahuluan lepas dari kaitan dengan ketua Pengadilan Negeri.
11. Upaya Hukum
Upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) juga diubah menjadi hanya dua alasan, yaitu ada novum atau putusan yang saling bertentangan. Salah atau keliru penerapan hukum bukan alasan PK. Jika benar-benar terjadi keliru penerapan hukum kemudian terdakwa dijatuhi pidana atau salah kualifikasi sehingga dijatuhi pidana lebih berat daripada seharusnya, maka upayanya ialah permohonan grasi kepada Presiden yang dapat diajukan oleh Jaksa Agung yang mewakli masyarakat. Kewenangan Jaksa Agung mengajukan PK kepada Mahkamah Agung.
Terhadap putusan bebas, tidak dapat dilakukan banding atau kasasi, kecuali terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Dalam RUU ini dipertegas kembali bahwa putusan bebas adalah murni atau tidak ada lagi putusan bebas tidak murni, dan terhadap putusan bebas tidak dapat dilakukan upaya hukum. Ditegaskan pula dalam Rancangan, hanya jika terdakwa dijatuhi pidana dapat diajukan PK, artinya putusan bebas dan lepas dari segala tuntuan hukum tidak dapat diajukan PK. Ketentuan ini bersifat universal.
BAB III
PENUTUP
Pembahasan dan harmonisasi Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana dan Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana diselaraskan, disesuaikan dan dipadukan dengan pembahasan RUU Kejaksaan dan RUU Mahkamah Agung, yang diharapkan dapat mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu/integrated criminal justice system yang mencakup sub-sistem Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan.
Selain itu juga Perubahan Undang-undang tersebut juga diharapkan dapat menjamin kepastian hukum, penegakan hukum yang berkeadilan, ketertiban hukum, keadilan masyarakat, dan perlindungan hukum serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia terutama dengan harapan dapat terjaminnya keseimbangan hak antara Penyidik dan penuntun umum serta baik bagi tersangka dan/atau terdakwa (termasuk Penasihat Hukumnya), saksi, maupun korban, demi terselenggaranya negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Makalah Mahasiswa Hukum
Andi Akbar Muzfa, SH.