Penyelesaian Sengketa dalam Masyarakat Hukum Adat
Hukum adat sebagai suatu sistem hukum memiliki pola tersendiri dalam menyelesaikan sengketa. Hukum adat memiliki karakter yang khas dan unik bila dibandingkan sistem hukum lain. Hukum Adat lahir dan tumbuh dari masyarakat, sehingga keberadaanya bersenyawa dan tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Hukum adat tersusun dan terbangun atas nilai, kaidah dan norma yang disepakati dan diyakini kebenarannya oleh komunitas masyarakat adat. Hukum adat merupakan wujud yuris fenomenologis dari masyarakat hukum adat.
Penyelesaian sengketa dalam masyarakat hukum adat di dasarkan pada pandangan hidup yang di anut oleh masyarakat itu sendiri. Pandangan hidup ini dapat diidentifikasikan dari ciri masyarakat hukum adat yang berbeda dengan masyarakat modern. Masyarakat Adat adalah masyarakat yang berlabel agraris, sedangkan masyarakat modern cenderung berlabel industri. Hal ini di dasarkan pada pandangan dan falsafah hidup yang dianut masing-masing masyarakat. Analisis mendalam tradisi penyelesaian sengketa dalam masyarakat adat, sangat ditentukan oleh pandangan hidup dan ciri masyarakat adat.
Dalam memahami tradisi penyelesaian sengketa dalam masyarakat hukum adat, perlu dipahami filosofi dibalik terjadinya sengeketa dan dampak-dampak yang terjadi akibat sengketa terhadap nilai dan komunitas masyarakat hukum adat. Tujuannya adalah untuk memahami keputusan-keputusan yang akan diambil oleh pemegang adat (tokoh adat) dalam menyelesaikan sengketanya.
I. Hukum Pidana Adat
Hukum pidana adat atau hukum adat delik yang dikenal dalam istilah belanda adatdelicten recht ialah aturan-aturan hukum adat yang mengatur peristiwa atau perbuatan kesalahan yang berakibat terganggunya keseimbangan masyarakat, sehingga sangat perlu diselesaikan (dihukum) untuk mengembalikan keseimbangan masyarakat yang terganggu tersebut.
Terminologi hukum pidana adat, delik adat atau hukum adat pidana cikal bakal sebenarnya berasal dari hukum adat yang terdiri dari hukum pidana adat dan hukum perdata adat. Terminologi hukum adat dikaji dari perspektif asas, norma, teoritis dan praktik dikenal dengan istilah, “hukum yang hidup dalam masyarakat”, “living law”, “nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat”, “hukum tidak tertulis”, “hukum kebiasaan”, dan lain sebagainya yang apabila dikaji dari perspektif sumbernya, hukum pidana adat juga bersumber baik sumber tertulis dan tidak tertulis.
Sumber tidak tertulis dapat merupakan kebiasaan-kebiasaan yang timbul, diikuti dan ditaati secara terus menerus dan turun temurun oleh masyarakat adat bersangkutan. Kemudian sumber tertulis dari hukum pidana adat adalah semua peraturan yang dituliskan seperti di atas daun lontar, kulit atau bahan lainnya.
Sumber tidak tertulis dapat merupakan kebiasaan-kebiasaan yang timbul, diikuti dan ditaati secara terus menerus dan turun temurun oleh masyarakat adat bersangkutan. Kemudian sumber tertulis dari hukum pidana adat adalah semua peraturan yang dituliskan seperti di atas daun lontar, kulit atau bahan lainnya.
Sedangkan I Gede A.B. Wiranata memberikan kesimpulan bahwa pelanggaran adat adalah, (i) suatu peristiwa aksi dari pihak dalam masyarakat; (ii) aksi itu menimbulkan adanya gangguan keseimbangan; (iii) gangguan kesimbangan itu menimbulkan reaksi; dan (iv) reaksi yang timbul menjadikan terpeliharanya kembali gangguan keseimbangan kepada keadaan semula.
Selanjutnya dijelaskan pula bahwa penyebutan delik adat atau perbuatan pidana adat adalah kurang tepat, melainkan pelanggaran adat. Oleh karena sebenarnya yang dimaksud adalah penyelewengan dari berbagai ketentuan hukum adat, berupa sikap tindak yang mengganggu kedamaian hidup yang juga mencakup lingkup laku kebiasaan-kebiasaan yang hidup berupa kepatutan dalam masyarakat. Delik adat atau pelanggaran adat berasal dari istilah Belanda adat delicten recht.
Istilah tersebut tidak dikenal dalam berbagai masyarakat adat di Indonesia. Lagi pula, hukum adat tidak membedakan antara hukum pidana dan hukum adat. Hukum pelanggaran adat dimaknai sebagai aturan-aturan hukum adat yang mengatur peristiwa atau perbuatan kesalahan yang berakibat terganggunya keseimbangan masyarakat, sehingga perlu diselesaikan (dihukum) agar keseimbangan masyarakat tidak terganggu.
Hukum adat merupakan nilai yang ada dan berkembang ditengah masyarakat, untuk menemukan hukum adat tersebut Soekanto menguraikan bahwa hukum adat tersebut mempunyai tempat yang dapat ditemukan pada:
- Kaedah-kaedah yang tidak tertulis. Hukum adat tersebut hidup dan terkenal oleh masyarakat penuh pepatah, simbolik, penuh kiasan. Hanya dapat dipahami dengan menjalani kehidupan, menyelidiki asal mula dan mempelajari cara orang menerangkannya.
- Kitab-kitab hukum. Kadang ada keinginan dari masyarakat untuk menulis adat, namun terkadang yang termuat di dalam catatan-catatan masyarakat tersebut ada yang sudah tidak berlaku lagi dalam masyarakat.
- Peraturan-peraturan dari golongan-golongan. Selain mencatat, masyarakat juga terkadang sengaja membuat peraturan-peraturan hukum yang terdapat di dalam peraturan-peraturan desa.
- Peraturan - peraturan raja - raja dan kepala - kepala pemerintahan. Peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh raja-raja dan kepala-kepalaa pemerintahan ada yang bermaksud menetapkan, memberi sanksi atas apa yang telah dianggap sebagai adat.
II. Pengadilan Adat
1. Pengadilan Adat di Indonesia
Pada dasarnya pengakuan negara atas masyarakat hukum adat diakui melalui Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”). Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Lebih lanjut, pengakuan tersebut diuraikan melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (“UU Desa”). Di dalam UU Desa, wewenang desa adat untuk menyelesaikan permasalahan hukum warganya diakui oleh negara melalui Pasal 103 huruf d dan e UU Desa sebagai berikut:
Kewenangan Desa Adat berdasarkan hak asal usul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a meliputi:
- pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli;
- pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat;
- pelestarian nilai sosial budaya Desa Adat;
- penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah;
- penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan Desa Adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
- pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa Adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat; dan
- pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Desa Adat.
Di luar UU Desa, posisi keputusan-keputusan dari proses penyelesaian sengketa adat pun diakui sebagai salah satu sumber hukum bagi hakim. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU 48/2009”) menyatakan bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Lebih jauh, putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
Adapun secara struktural, pengadilan adat tidak terikat dalam hubungan hierarkis dengan badan-badan peradilan formal di Indonesia. UU 48/2009 tidak mengakui pengadilan adat sebagai salah satu bagian dari kekuasaan kehakiman di Indonesia. Kekuasaan kehakiman sendiri berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU 48/2009 adalah
"Kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia".
"Kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia".
Pasal 18 UU 48/2009 kemudian membatasi bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, sehingga dalam hal ini, posisi peradilan adat dapat dipersamakan sebagai salah satu bentuk lembaga alternatif penyelesaian sengketa, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU 30/1999”). Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
2. Kedudukan Keputusan Pengadilan Adat
Karena sejak semula berfungsi sebagai sumber hukum dan tidak terikat hubungan struktural, pada dasarnya tidak ada kewajiban bagi seorang hakim untuk mematuhi keputusan pengadilan adat. Hal ini sebagaimana diuraikan Tody Sasmitha Jiwa Utama dan Sandra Dini Febri Aristya dalam jurnal Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada berjudul Kajian tentang Relevansi Peradilan Adat terhadap Sistem Peradilan Perdata Indonesia (hal. 65), keduanya menjelaskan bahwa terdapat hubungan fungsional tak mengikat antara pengadilan negara dengan keputusan peradilan adat, yang mana dalam hal ini pengadilan negara mengakui kewenangan yang dimiliki peradilan adat/desa dalam menjatuhkan keputusan perdamaian meskipun keputusan itu tidak memiliki sifat yang mengikat bagi hakim.
Salah satu putusan yang dirujuk oleh penelitian tersebut adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 436K/Sip/1970. Putusan tersebut melahirkan kaidah bahwa keputusan perdamaian melalui mekanisme adat tidak mengikat hakim pengadilan negeri dan hanya menjadi pedoman. Apabila terdapat alasan hukum yang kuat, hakim pengadilan negeri dapat menyimpangi keputusan perdamaian adat tersebut.
Dalam konteks hukum acara perdata, keputusan tertulis pengadilan adat dapat diajukan ke pengadilan sebagai alat bukti guna menyokong pertimbangan hakim. Pasal 164 Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”) menyebut bahwa alat bukti di dalam peradilan perdata terdiri atas:
- Surat;
- Saksi;
- Persangkaan-persangkaan;
- Pengakuan; dan
- Sumpah.
Dengan demikian, keputusan yang dituangkan secara tertulis tersebut dapat dipersamakan dengan surat. Surat berdasarkan Pasal 165 HIR adalah:
"Suatu surat yang diperbuat demikian oleh atau di hadapan pegawai umum yang berkuasa untuk membuatnya menjadi bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak daripadanya tentang segala hal yang disebut di dalam surat itu dan juga tentang yang ada dalam surat itu sebagai pemberitahuan sahaya, dalam hal terakhir ini hanya jika yang diberitahukan itu berhubungan langsung dengan perihal pada surat (akte) itu".
"Suatu surat yang diperbuat demikian oleh atau di hadapan pegawai umum yang berkuasa untuk membuatnya menjadi bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak daripadanya tentang segala hal yang disebut di dalam surat itu dan juga tentang yang ada dalam surat itu sebagai pemberitahuan sahaya, dalam hal terakhir ini hanya jika yang diberitahukan itu berhubungan langsung dengan perihal pada surat (akte) itu".
Selain sebagai alat bukti, terdapat pendapat ahli yang menyatakan bahwa keputusan pengadilan adat hanya perlu diajukan ke pengadilan negeri untuk mendapat pengakuan negara. Elfi Marzuni, sebagaimana dikutip Utama dan Aristya, dalam jurnal dengan judul sama seperti di atas (hal. 65) menyebut bahwa keputusan peradilan adat yang dituangkan dalam akta perdamaian dapat dikuatkan dengan putusan pengadilan, sehingga berkekuatan hukum tetap.
Dalam ranah pidana, terdapat preseden yang juga mengakui pidana adat sebagai sumber hukum. Sebagai contoh, dalam Putusan Pengadilan Tinggi Makassar Nomor 427/Pid/2008 sebagaimana digambarkan dalam artikel Putusan-putusan yang Menghargai Pidana Adat, hakim menghukum seseorang karena melakukan persetubuhan di luar perkawinan. Mengingat perilaku tersebut pada dasarnya tidak dilarang oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), hakim kemudian menautkan putusannya kepada hukum adat setempat.
Semoga bermanfaat...
Dihimpun dari berbagai sumber dan literatur buku-buku
Admin : Febrianti Marala, SH
Editor : Juliana Syam, S.Kom
Kantor Hukum :
ABR & Partners - Makassar
Andi Akbar Muzfa, SH