Sifat Melawan Hukum Dalam Hukum Pidana

Sifat Melawan Hukum (Wederrechtelijk)
Dalam ilmu hukum pidana, dikenal beberapa pengertian melawan hukum (wederrechtelijk), yaitu:
  • Menurut Simons, melawan hukum diartikan sebagai “bertentangan dengan hukum”, bukan saja terkait dengan hak orang lain (hukum subjektif), melainkan juga mencakup Hukum Perdata atau Hukum Administrasi Negara.
  • Menurut Noyon, melawan hukum artinya “bertentangan dengan hak orang lain” (hukum subjektif).
  • Menurut Hoge Raad dengan keputusannya tanggal 18 Desember 1911 W 9263, melawan hukum artinya “tanpa wenang” atau “tanpa hak”.
  • Menurut Vos, Moeljatno, dan Tim Pengkajian Bidang Hukum Pidana BPHN atau BABINKUMNAS dalam Rancangan KUHPN memberikan definisi “bertentangan dengan hukum” artinya, bertentangan dengan apa yang dibenarkan oleh hukum atau anggapan masyarakat, atau yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan.
Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum, atau tidak sesuai dengan larangan atau keharusan hukum, atau menyerang suatu kepentingan yang dilindungi oleh hukum. Istilah melawan hukum itu sendiri sesungguhnya mengadopsi dari istilah dalam hukum perdata yaitu “onrechtmatigedaad” yang berarti perbuatan melawan hukum.

Sifat perbuatan melawan hukum suatu perbuatan ada 2 (dua) macam, yakni:
  • Sifat melawan hukum formil (Formale wederrechtelijk)
    Menurut pendapat ini, yang dimaksud dengan perbuatan bersifat melawan hukum adalah perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang, kecuali jika diadakan pengecualian-pengecualian yang telah ditentukan dalam undang-undang, bagi pendapat ini melawan hukum berarti melawan undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang.
  • Sifat melawan hukum materil (materielewederrechtelijk).
    Menurut pendapat ini belum tentu perbuatan yang yang memenuhi rumusan undang-undang itu bersifat melawan hukum. Bagi pendapat ini yang dinamakan hukum itu bukan hanya undang-undang saja (hukum yang tertulis), tetapi juga meliputi hukum yang tidak tertulis, yakni kaidah-kaidah atau kenyataan-kenyataan yang berlaku di masyarakat.
Selain pendapat di atas, Nico Keijzer juga memberikan pendapatnya terkait sifat melawan hukum (wederrechtelijk) ini. Nico Keijzer dalam ceramahnya pada Penataran Nasional Hukum Pidana di Universitas Diponegoro Semarang pada tanggal 6 sampai dengan 12 agustus 1987 mengatakan bahwa dalam dogmatik hukum pidana istilah sifat melawan hukum itu mempunyai empat makna yang berbeda, yakni:
  • Sifat melawan hukum formil.
    Sifat melawan hukum formil berarti semua bagian dari rumusan delik telah terpenuhi, yang terjadi karena melanggar ketentuan pidana menurut undang-undang. Sifat melawan hukum formil ini merupakan syarat untuk dapat dipidananya perbuatan bersumber pada asas legalitas. Apakah rumusan delik telah terpenuhi, jadi apakah ada sifat melawan hukum formil, tidak begitu saja dapat disimpulkan dari bunyi rumusan delik ini harus ditafsirkan, sebab untuk dapat menjawab pertanyaan apakah suatu bagian tertentu telah dipenuhi, lebih dahulu diperlukan arti yang tepat dari bagian tersebut.
  • Sifat melawan hukum materil.
    Sifat melawan hukum materil berarti melanggar atau mebahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh  pembuat  undang-undang dalam  rumusan  delik tertentu.Pada delik-delik material atau delik-delik yang dirumuskan secara material, sifat melawan hukum material dimasukkan dalam rumusan delik sendiri dan karena itu bukti dari sifat melawan hukum material termasuk dalam bukti dari rumusan delik. Pada delik-delik ini, pengertian sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum material itu pada umumnya menyatu.Misalnya dalam rumusan delik pembunuhan, hanya dipenuhi kalau kepentingan hukum di belakangnya yaitu nyawa dilanggar. Sedangkan dalam delik-delik formil atau delik-delik yang dirumuskan secara formil sifat melawan hukum material itu tidak dimasukkan dalam delik sendiri, jadi tidak perlu dibuktikan.
  • Sifat melawan hukum umum.
    Sifat melawan hukum umum (sifat melawan hukum sebagai bagian luar undang-undang) yang berarti bertentangan dengan hukum objektif. Hal ini pada umumnya terjadi jika perbuatannya bersifat melawan hukum formil dan tidak ada alasan pembenar. Alasan pembenar ini mungkin ada, baik pada delik materil maupun pada deik formil. Pada delik formil contohnya; seseorang diserang secara melawan hukum dan satu-satunya jalan adalah membunuh penyerangnya, jika ia sendiri tidak ingin mati, maka ia harus melanggar rumusan delik Pasal 338 KUHP. Akan tetapi perbuatannya dengan mengingat semua keadaan, tidak bersifat melawan hukum.Pada delik formil, contohnya; seorang pengendara mobil berhenti di jalan yang terdapat larangan berhenti, itu dilakukannya atas perintah seorang polisi lalu lintas, perbuatannya memenuhi rumusan delik, namun perbuatannya tidak bersifat melawan hukum.
  • Sifat melawan hukum khusus.
    Sifat melawan hukum khusus (sifat melawan hukum sebagai bagian dari undang- undang) memiliki arti khusus dalam tiap-tiap rumusan delik di dalamnya itu sifat melawan hukum menjadi bagian dari undang-undang dan dapat dinamakan suatu fase dari sifat melawan hukum umum. Contoh;
    • Pasal 362 KUHP (pencurian) pada anak kalimat “dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum”.
    • Pasal 167 KUHP (mengganggu ketentraman rumah tangga) pada anak kalimat “memaksa masuk secara melawan hukum, atau berada disitu secara melawan hukum dan tidak pergi”.
    • Pasal 378 KUHP (penipuan) pada anak kalimat “menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dll.
Untuk terjadinya perbuatan melawan hukum, menurut Hoffman harus memiliki empat unsur, yaitu:
  • Harus ada yang melakukan perbuatan;
  • Perbuatan itu harus melawan hukum;
  • Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian bagi orang lain;
  • Perbuatan itu karena kesalahan yang ditimpakan kepadanya.
Semoga Bermanfaat...
Admin : Putri Silfia Dewi, SH
Web Blog : Dialog Kebenaran



Previous
Next Post »