1. DEFINISI PRAPERADILAN
Pra peradilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus:
- Sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan;
- Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
- Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. (Pasal 1 butir 10 jo Pasal 77 KUHAP);
- Sah atau tidaknya penyitaan barang bukti (Pasal 82 ayat 1 huruf b KUHAP).
- Tersangka, yaitu apakah tindakan penahanan terhadap dirinya bertentangan dengan ketentuan Pasal 21 KUHAP, ataukah penahanan yang dikenakan sudah melawati batas waktu yang ditentukan Pasal 24 KUHAP;
- Penyidik untuk memeriksa sah tidaknya penghentian penuntutan;
- Penuntut Umum atau pihak ketiga yang berkepentingan untuk memeriksa sah tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan misalnya saksi korban.
- Penangkapan atau penahanan yang tidak sah;
- Penggeledahan atau penyitaan yang pertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang;
- Kekeliruan mengenai orang yang ditangkap, ditahan atau diperiksa.
2. PROSES PEMERIKSAAN PRA PERADILAN
- Pra peradilan dipimpin oleh Hakim Tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri dan dibantu oleh seorang Panitera (Pasal 78 ayat (2) KUHAP).
- Pada penetapan hari sidang, sekaligus memuat pemanggilan pihak pemohon dan termohon pra peradilan.
- Dalam waktu 7 (tujuh) hari terhitung permohonan pra peradilan diperiksa, permohonan tersebut harus diputus.
- Pemohon dapat mencabut permohonan¬nya sebelum Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan apabila disetujui oleh termohon. Kalau termohon menyetujui usul pencabutan permohonan tersebut, Pengadilan Negeri membuat penetapan tentang pencabutan tersebut.
- Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan sedangkan pemeriksaan pra peradilan belum selesai maka permohonan tersebut gugur. Hal tersebut dituangkan dalam bentuk penetapan.
3. UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PRA PERADILAN
- Putusan pra peradilan tidak dapat dimintakan banding (Pasal 83 ayat (1), kecuali terhadap putusan yang menyatakan “tidak sahnya” penghentian penyidikan dan penuntutan (Pasal 83 ayat (2) KUHAP).
- Dalam hal ada permohonan banding terhadap putusan pra peradilan sebagaimana dimaksud Pasal 83 ayat (1) KUHAP, maka permohonan tersebut harus dinyatakan tidak diterima.
- Pengadilan Tinggi memutus permintaan banding tentang tidak sahnya penghentian penyidikan dan penuntutan dalam tingkat akhir.
- Terhadap Putusan pra peradilan tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi.
II. GUGATAN PRAPERADILAN
Mengutip pendapat Andi Hamzah, Praperadilan adalah salah satu jelmaan dari Habeas Corpus sebagai prototype, yaitu sebagai tempat untuk mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (“HAM”) dalam suatu proses pemeriksaan perkara pidana.
Praperadilan sendiri diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), khususnya Pasal 1 angka 10, Pasal 77 s/d Pasal 83, Pasal 95 ayat (2) dan ayat (5), Pasal 97 ayat (3), dan Pasal 124. Adapun yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP adalah:
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
- sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
- ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Mengenai “salah penerapan hukum” sebagai objek dalam Praperadilan, maka sesuai ketentuan Pasal 77 KUHAP di atas, “salah penerapan hukum” adalah tidak termasuk sebagai salah satu Objek Praperadilan. Mengenai “salah penerapan hukum” dalam suatu perkara justru dikenal dalam Upaya Hukum Permohonan Kasasi (Vide: Pasal 30 ayat [1] UU No 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo. Pasal 253 KUHAP).
Lebih lanjut mengenai Praperadilan, dalam kurun waktu lebih dari dua dasawarsa (sejak berlakunya KUHAP pada 1981), secara praktik, Praperadilan yang awalnya diproyeksikan sebagai sarana pengawasan untuk menguji keabsahan suatu upaya paksa (dwangmiddelen), misalnya mengenai penangkapan dan penahanan terhadap tersangka, kini dinilai hanya bersifat pengawasan administratif belaka.
Hal ini dikarenakan sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan cukup dapat dibuktikan oleh penegak hukum, dengan memperlihatkan ada atau tidak adanya surat penangkapan/surat penahanan secara formal saja. Di samping itu, Penangguhan Penahanan yang merupakan Hak dari Tersangka/Terdakwa, seringkali diabaikan oleh penegak hukum, yang justru lebih mengedepankan syarat subjektif penahanan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, yaitu adanya “Kekhawatiran” dari Penegak Hukum bahwa tersangka/terdakwa akan melarikan diri, merusak/menghilangkan barang bukti dan/atau mengulangi perbuatan."
Selain itu, kekuasaan untuk melakukan penahanan cenderung dapat disalahgunakan oleh oknum penegak hukum (abuse of power). Kondisi demikian melahirkan wacana dan usulan agar peran dan fungsi Praperadilan diganti dengan Hakim Komisaris, yang sesuai dengan draf RUU KUHAP yang baru, diperlengkapi kewenangan yang jauh lebih luas dari Praperadilan.
Hakim Komisaris sendiri sebenarnya bukanlah konsep baru dalam dunia penegakan hukum di Indonesia, sebelumnya Hakim Komisaris sudah ada pada saat berlakunya Reglement op de Strafvoerdering (RV), namun setelah berlakunya HIR, Hakim Komisaris ditiadakan. Pada 1974, pernah ada wacana memasukkan hakim komisaris dalam RUU KUHAP yang pertama, namun ada pertentangan dari berbagai kalangan penegak hukum, karena dikhawatirkan akan mengganggu tugas dari kejaksaan dan kepolisian sebagai hulp magistraat (pembantu jaksa) pada saat berlakunya HIR (Herzien Indlandsch Reglement), sebelum KUHAP diundangkan sebagai masterpiece dari Hukum Acara Pidana Indonesia.
Dalam RUU KUHAP, rancangan mengenai hakim komisaris sudah diformulasikan antara lain: kewenangan hakim komisaris secara tunggal (oleh karena jabatannya/ex officio) untuk menilai sah atau tidaknya upaya paksa (dwangmiddelen) baik mengenai penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan penyadapan, serta untuk soal penangguhan penahanan bagi tersangka, dan lain-lain.
Dalam menjalankan tugasnya yang cukup berat dan “tertutup” tersebut, hakim komisaris secara tunggal/mandiri hanya mendapat pengawasan dari Pengadilan Tinggi dan bukan dari publik sebagai sarana pengawasan umum, yang bersumber dari salah satu asas hukum acara pidana yang menyatakan “Pengadilan terbuka untuk umum”.
Mencermati begitu luasnya kewenangan dari Hakim Komisaris sebagaimana tersebut di atas dan sifat subjektifitas dari seorang hakim komisaris tanpa pengawasan yang “terbuka” sebagaimana yang ada pada Praperadilan Indonesia saat ini, dikhawatirkan dapat menggenapi adagium “power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely” (kekuasaan cenderung korupsi, kekuasaan mutlak pasti korupsi).
Asep Iwan Iriawan pernah berpendapat, tidak ada jaminan kepastian hukum yang adil baik dari Praperadilan maupun Hakim Komisaris, selama pribadi yang menjabat tersebut adalah pribadi yang korup, namun menurut pendapat penjawab, sifat keterbukaan Praperadilan adalah konsep yang lebih baik dari Hakim Komisaris yang hanya diawasi oleh Pengadilan Tinggi. Hanya saja, Praperadilan perlu dimodifikasi dan diperlengkapi dengan kewenangan sebagaimana yang dimiliki oleh Hakim Komisaris dalam RUU KUHAP.
Pengadilan Negeri sebagai pengadilan yang memiliki fungsi yustisial untuk mengadili permohonan praperadilan. Permohonan praperadilan identik dengan gugatan expartee dalam hukum acara perdata.
Yahya harahap (2002b: 6) menyebutnya sebagai gugatan yang menempatkan pejabat penyidik atau penuntut sebagai terdakwa semu. Pengadilan negeri akan menilai apakah suatu tindakan penyelidik atau penuntut tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.
1. HAKIM TUNGGAL
Hakim tunggal yang mengadili permohonan praperadilan akan membuat penetapan atas permonan praperadilan yang diajukan oleh tersangka/ keluarganya (kuasa hukumnya). Atau dapat juga permohonan praperadilan yang diajukan oleh penyidik, penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan atas penghentian penyidikan/ penghentian penuntutan.
Secara jelas proses pemeriksaan (hukum acara) permohonan praperadilan pertama-tama diajukan oleh:
- Tersangka, keluarganya, kuasanya tentang tidak sahnya penangkapan atau penahan
- Penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan tentang tidak sahnya penghentian penyidikan.
- Penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan tentang tidak sahnya penghentian penuntutan, yang diajukan ke pada ketua pengadilan negeri (Pasal 79, Pasal 80 KUHAP) dengan menyebut alasan-alasanya.
2. REGISTER PERKARA
Setelah permintaan untuk pemeriksaan praperadilan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan dicatat dalam register perkara praperadilan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri, maka pada hari itu juga panitera atau pejabat yang ditunjuk untuk itu. Menyampaikan surat tersebut kepada ketua/ wakil Ketua Pengadilan Negeri, yang segera menunjuk hakim tunggal dan paniteranya yang akan memeriksa perkara praperadilan tersebut.
Segera setelah menerima penunjukan, dalam waktu tiga hari setelah dicatatnya perkara (bukan setelah ditunjuk), hakim praperadilan tersebut harus menetapkan hari sidang dalam suatu penetapan serta memanggil saksi-saksi. Penetapan tersebut, dikirimkan kepada penuntut umum untuk dilaksanakan. Kepada termohon dilampiri salinan/ foto kopi surat permintaan praperadilan, agar ia meneliti dan mempelajarinya. Yang dipanggil ke persidangan praperadilan, selain tersangka/ terdakwa yang mengajukan permintaan pemeriksaan praperadilan, juga termohon, pejabat-pejabat yang berwenang.
3. RENTAN WAKTU & PUTUSAN
Pemeriksaan persidangan dilakukan dengan cepat dan berita acara dan putusan praperadilan dibuat seperti pemeriksaan singkat. Dalam waktu selambat-lambatnya tujuh hari hakim sudah harus memutuskan perkara. Perhitungan waktu tujuh hari adalah terhitung dari sejak dimulainya pemeriksaan.
Dalam hal suatu pemeriksaan praperadilan sedang berlangsung, tetapi perkaranya sudah dimulai diperiksa maka pemeriksaan praperadilan dinyatakan gugur.
Terhadap putusan praperadilan tidak dimintakan banding (Pasal 83 KUHAP), tetapi khusus terhadap kasus tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan maka penyidik/ Penuntut Umum dapat meminta putusan akhir ke pada Pengadilan Tinggi. Selanjutnya diperlakukan ketentuan-ketentuan pada acara banding, baik mengenai tenggang waktu serta tata cara lainnya.
Putusan Pengadilan Tinggi di sini, harus segera diberitahukan kepada semua pihak yang bersangkutan oleh Panitera Pengadilan Negeri.
Sebagaimana dikemukakan di atas, putusan pengadilan merupakan putusan akhir. Dengan demikian, untuk putusan praperadilan tidak dapat dimintakan kasasi, dengan alasan bahwa ada keharusan penyelesaian secara cepat dan perkara-perkara praperadilan sehingga jika masih dimungkinkan kasasi maka hal tersebut tidak akan dicapai. Selain itu praperadilan sebagai wewenang pengawasan horizontal dari Pengadilan Negeri (Yurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 31 Maret 1982 No. 277 K/ Kr/ 1982).
Putusan verstek dalam acara praperadilan tidak dikenal. Bentuk keputusan praperadilan mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahan dalam putusan, sedangkan mengenai pemberian ganti rugi dan rehabilitasi adalah penetapan (vide: Pasal 96 ayat 1 KUHAP).
Berdasarkan Pasal 77, hakim tidak dapat dipra-peradilankan. Hal ini ditegaskan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung RI tanggal 8 Desember 1983 Nomor: SEMA 14 Tahun 1983.
IV. CONTOH GUGATAN PRAPERADILAN
Untuk contoh gugatan praperadilan agak mirip dengan gugatan perdata, dan untuk lebih jelasnya dilain waktu kami akan bahas secara tuntas tentang "contoh gugatan praperadilan yang benar".
Bagi anda yang sedang tersandung perkara hukum, baik terkalit dengan pembahasan ini, kami menawarkan jasa hukum advokat untuk seluruh wilayah indonesia terkhusus di kota makassar (Kantor Hukum Fahmi Muzfa & Partners) Advokat PERADI :
- Fahmi Achnan, SH
- Andi Akbar Muzfa, SH
- Salahuddin, SH
Yang berkantor di Jl.Pandang Raya, Pondok Tiara, Panakukang Makassar. Kontak WA +6282187566566
Nb. Ketiga para advokat Fahmi Muzfa & Partners merupakan advokat/pengacara PERADI jebolan beberapa kantor hukum besar di Ibukota Jakarta, diantaranya Kantor Hukum Egi Sudjana, Lawfirm Bertua & Co (adik kandung Hotman Paris Hutapea) dan kantor hukum senior lainnya.