Menurut Pew Research Center, sekitar seperempat negara di dunia (26%) memiliki hukum atau kebijakan anti-penistaan agama per 2014.
Di beberapa negara, hukum penistaan agama dipakai untuk melindungi agama mayoritas, sedangkan di negara-negara lain, hukum ini dipakai untuk menjamin perlindungan terhadap agama minoritas.
Selain larangan penistaan agama atau pencemaran nama baik agama, hukum penistaan agama mencakup semua hukum yang memberi ganti rugi untuk pihak-pihak yang tersinggung.
Di beberapa negara, hukum penistaan agama dipakai untuk melindungi agama mayoritas, sedangkan di negara-negara lain, hukum ini dipakai untuk menjamin perlindungan terhadap agama minoritas.
Selain larangan penistaan agama atau pencemaran nama baik agama, hukum penistaan agama mencakup semua hukum yang memberi ganti rugi untuk pihak-pihak yang tersinggung.
Hukum penistaan agama biasanya melarang permusuhan terhadap agama dan kelompok agama, pencorengan agama dan pemeluknya, perendahan agama dan pemeluknya, menyinggung rasa ketaatan beragama, atau sikap melawan agama.
Di sejumlah negara, hukum penistaan agama meliputi hukum ujaran kebencian yang melebihi larangan ujaran kebencian dan kekerasan. Beberapa hukum penistaan agama seperti yang ada di Denmark tidak memidanakan "ujaran berbentuk kritik," tetapi memidanakan "ujaran berbentuk hinaan."
Meski tidak menekankan hukum penistaan agama secara eksplisit, Pasal 20 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik Internasionalmewajibkan setiap negara mengesahkan undang-undang yang menolak "setiap gerakan yang mengusung kebencian bangsa, ras, atau agama yang bisa memicu diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan."
Hukum penistaan agama di Indonesia
Meski tidak menekankan hukum penistaan agama secara eksplisit, Pasal 20 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik Internasionalmewajibkan setiap negara mengesahkan undang-undang yang menolak "setiap gerakan yang mengusung kebencian bangsa, ras, atau agama yang bisa memicu diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan."
Hukum penistaan agama di Indonesia
Hukum penistaan agama di Indonesia adalah undang-undang, dekret presiden, dan peraturan menteri yang melarang penistaan agama di Indonesia.
Indonesia melarang penistaan agama dalam KUHP-nya.
Indonesia melarang penistaan agama dalam KUHP-nya.
Pasal 156 (a) menyasar setiap orang yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia atau dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun. Pelanggaran Pasal 156(a) dipidana penjara selama-lamanya lima tahun.
Proses Hukum Penistaan Agama
Proses hukum memiliki koridornya sendiri. Butuh waktu lantaran terkait pembuktian sehingga penyelidik dan penyidik harus profesional, objektif, dan independen atau tidak terpengaruh pada intervensi dari mana pun.
Penyelidik dalam menangani dugaan terjadi tindak pidana (delik) mengumpulkan bukti permulaan yang cukup minimal dua alat bukti agar dapat ditingkatkan ke penyidikan. Apakah ada bukti yang cukup dan perkara itu secara terang-benderang termasuk tindak pidana atau bukan?
Di situlah salah satu kesulitan untuk mempercepat penyelidikan dan penyidikan lantaran butuh waktu untuk mengumpulkan alat bukti dengan memeriksa pelapor, saksi dan saksi korban, ahli, serta mencari alat bukti lain.
Namun, siapa pun yang cukup bukti melakukan delik harus dibawa ke pengadilan untuk diperiksa dan diadili apakah bersalah atau tidak. Persoalan ini yang kadang tidak sinkron dengan pemahaman sebagian warga masyarakat yang menghendaki suatu dugaan tindak pidana diproses lebih cepat.
Masih ada warga masyarakat dipengaruhi penyakit lama, ”tidak percaya” kepada penegakan hukum, terutama jika yang dilaporkan itu oknum pejabat negara.
Adanya Niat dan Sengaja
Pasal yang selalu diterapkan terhadap dugaan penistaan agama adalah Pasal 156a KUH-Pidana.
Pasal tersebut berbunyi:
Untuk menemukan ada sikap batin atau niat jahat (mens rea) seseorang harus dilihat pada rangkaian ucapan dan perbuatan yang mencocoki rumusan delik yang dilarang dalam Pasal 156a KUH-Pidana yang disebut “perbuatan jahat (actus reus)”.
Artinya, niat jahat (actus reus) ditemukan pada ucapan atau perbuatan seseorang yang dilarang dalam undang-undang sebagai unsur yang dapat dipidana.
”Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
- yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
- dengan maksud agar orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Untuk menemukan ada sikap batin atau niat jahat (mens rea) seseorang harus dilihat pada rangkaian ucapan dan perbuatan yang mencocoki rumusan delik yang dilarang dalam Pasal 156a KUH-Pidana yang disebut “perbuatan jahat (actus reus)”.
Artinya, niat jahat (actus reus) ditemukan pada ucapan atau perbuatan seseorang yang dilarang dalam undang-undang sebagai unsur yang dapat dipidana.
Mengeluarkan perasaan (ucapan) atau perbuatan yang dilarang dalam Pasal 165a (khususnya huruf-a) KUH-Pidana terkait dengan dugaan penistaan agama adalah :”...dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan”.
Niat jahat (mens rea) terkait dengan pertanggungjawaban pidana (kemampuan bertanggung jawab), kemudian diwujudkan dengan perbuatan jahat (actus reus) yang dapat pidana.
Di situlah terlihat ada “niat” melakukan penistaan agama melalui ucapan di muka umum. Apalagi 156a KUH-Pidana termasuk “delik formil” yaitu tindak pidana di mana yang dilarang dan diancam pidana adalah perbuatan jahat (actus reus) yang mencocoki rumusan delik.
Penistaan agama sebetulnya sudah ada beberapa putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap (yurisprudensi). Antara lain putusan terhadap Arswendo Atmowiloto pada 1990.
Arswendo membuat polling di Tabloid Monitor tentang siapa tokoh idola menurut para pembacanya. Hasil polling yang dirilis tabloid itu, nama Nabi Muhammad SAW berada pada urutan ke-11.
Niat jahat (mens rea) terkait dengan pertanggungjawaban pidana (kemampuan bertanggung jawab), kemudian diwujudkan dengan perbuatan jahat (actus reus) yang dapat pidana.
Di situlah terlihat ada “niat” melakukan penistaan agama melalui ucapan di muka umum. Apalagi 156a KUH-Pidana termasuk “delik formil” yaitu tindak pidana di mana yang dilarang dan diancam pidana adalah perbuatan jahat (actus reus) yang mencocoki rumusan delik.
Penistaan agama sebetulnya sudah ada beberapa putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap (yurisprudensi). Antara lain putusan terhadap Arswendo Atmowiloto pada 1990.
Arswendo membuat polling di Tabloid Monitor tentang siapa tokoh idola menurut para pembacanya. Hasil polling yang dirilis tabloid itu, nama Nabi Muhammad SAW berada pada urutan ke-11.
Itu yang menyulut kemarahan umat Islam yang dianggap penistaan agama Islam sebab Nabi Muhammad SAW diyakini nabi terakhir yang difirmankan dalam Alquran sebagai tokoh panutan bagi umat Islam. Kasus itu dilaporkan ke polisi dengan sangkaan penodaan atau penistaan terhadap agama Islam.
Proses hukum berjalan dan salah satu landasan alat bukti surat adalah Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Boleh saja terdakwa menyebut tidak punya “sikap batin atau niat jahat dan sengaja” menghina Nabi Muhammad SAW, tetapi hal itu tidak menjadi dasar pertimbangan hakim.
Hakim melihat dan menilainya pada ucapan atau perbuatan yang dilarang dalam Pasal 156a huruf-a KUH-Pidana sebagai perbuatan jahat (actus reus) sehingga dijatuhi pidana penjara selama 4 (empat) tahun. Putusan itu merupakan yurisprudensi yang dapat diikuti hakim-hakim lain dalam perkara yang sama.
Kedua, unsur “dengan sengaja di muka umum” mengeluarkan perasaan (ucapan) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Dalam KUH-Pidana, bahkan pengaturan hukum pidana di berbagai negara tidak menegaskan pengertian tentang apa yang dimaksud “dengan sengaja”.
Pengertian “dengan sengaja (dolus atau opzet)” hanya dapat ditemukan pada teori yang dikemukakan oleh para pakar hukum pidana yang terkenal dalam buku-bukunya (Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, 1995: 266).
Acapkali hakim melihat makna frasa “sengaja” sebagai maksud untuk membuat sesuatu atau tidak membuat sesuatu yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang. Pemahaman ini sesuai dengan makna “sengaja” dalam hukum adat Indonesia dan hukum pidana pada negara-negara penganut sistem hukum common law (Anglo Saxon).
Proses hukum berjalan dan salah satu landasan alat bukti surat adalah Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Boleh saja terdakwa menyebut tidak punya “sikap batin atau niat jahat dan sengaja” menghina Nabi Muhammad SAW, tetapi hal itu tidak menjadi dasar pertimbangan hakim.
Hakim melihat dan menilainya pada ucapan atau perbuatan yang dilarang dalam Pasal 156a huruf-a KUH-Pidana sebagai perbuatan jahat (actus reus) sehingga dijatuhi pidana penjara selama 4 (empat) tahun. Putusan itu merupakan yurisprudensi yang dapat diikuti hakim-hakim lain dalam perkara yang sama.
Kedua, unsur “dengan sengaja di muka umum” mengeluarkan perasaan (ucapan) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Dalam KUH-Pidana, bahkan pengaturan hukum pidana di berbagai negara tidak menegaskan pengertian tentang apa yang dimaksud “dengan sengaja”.
Pengertian “dengan sengaja (dolus atau opzet)” hanya dapat ditemukan pada teori yang dikemukakan oleh para pakar hukum pidana yang terkenal dalam buku-bukunya (Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, 1995: 266).
Acapkali hakim melihat makna frasa “sengaja” sebagai maksud untuk membuat sesuatu atau tidak membuat sesuatu yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang. Pemahaman ini sesuai dengan makna “sengaja” dalam hukum adat Indonesia dan hukum pidana pada negara-negara penganut sistem hukum common law (Anglo Saxon).
Penistaan Agama Ahok
Penggalan Surat Al Maidah ayat 51 untuk mengilustrasikan isu SARA yang digiring lawan politiknya demi mengalahkannya pada Pilkada Bangka Belitung yang disampaikan di hadapan warga Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 ternyata berbuntut panjang. Bahkan, pidato yang tersebar luas di media sosial tersebut membawanya berurusan dengan hukum. Mungkin tak terfikir oleh Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok jika pidato yang divideokan dan kemudian diunggah di media sosial Youtube tersebut menjadi masalah yang melilitnya hingga berujung penjara.
Video pidato Ahok yang mengutip penggalan Surat Al Maidah ayat 51 tersebut memang menimbulkan kontroversi. Pelaporan atas dugaan penistaan agama oleh Ahok pun dilakukan Habib Novel Chaidir ke kepolisian dengan nomor lapor LP/1010/X/2016.
Ahok pun harus berurusan dengan pihak kepolisian untuk menjalani pemeriksaan. Meski di beberapa kesempatan, Ahok sendiri sudah meminta maaf secara terbuka.
Aparat memang tak bisa main-main dalam memproses kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok, terlebih dengan adanya desakan kelompok masyarakat yang dilakukan dalam bentuk aksi demonstrasi secara masif di beberapa wilayah.
Hari-hari berikutnya, Ahok menjalani proses persidangan. Ahok didakwa melakukan penodaan agama. Ahok didakwa dengan dua pasal alternatif, yakni pasal 156 huruf a KUHP atau pasal 156 KUHP.
Setelah menjalani beberapa kali persidangan. Majelis hakim yang diketuai Dwiarso Budi Santiarto menyatakan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok bersalah dalam kasus penodaan agama dan dihukum penjara selama 2 tahun.
Dalam Putusan
"Menyatakan Ir Basuki Tjahaja Purnama terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penodaan agama dan menjatuhkan pidana penjara 2 tahun dan memerintahkan terdakwa ditahan," tegas Dwiarso dalam persidangan di Gedung Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan.
Dalam nota pembeaan atau pleidoi yang dibacakan, Basuki mengatakan dirinya hanya lah sebagai korban sehingga menjadi pesakitan di persidangan.
Menurut Basuki, dirinya menjadi korban fitnah juga diakui Jaksa Penuntut Umum yang mengtakan ada peran Buni Yani dalam kasus tersebut yang mengunggah potongam video pidato Ahok di Kepulauan Seribu dan menambahkan kalimat provokatif.
'Saya mau tegaskan, saya bukan penista atau penoda agama. Saya juga tidak menghina suatu golongan apapun. Majelis hakim yang saya muliakan, banyak tulisan yang menyatakan saya ini korban fitnah bahkan penuntut umum mengakui adanya peranan Buni Yani dalam perkara ini," kata Basuki saat membacakan pleidoi di Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (25/42017).
Ahok menilai pidato dia baru menjadi masalah setelah sembilan hari karena diunggah Buni Yani. Pascaunggahan tersebut, Ahok kemudian dilaporkan berbagai pihak ke Polisi karena diduga menghina agama Islam.
Padahal, kata dia, saat berpidato di Kepulauan Seribu, tak seorang pun yang mempermasalahkan pidato ketika Basuki menyinggung Surat Almaidah 51.
"Banyak media massa yang meliput sejak awal hingga akhir kunjungan saya. Bahkan disiarkan scara langsung yang menjadi materi pembicaraan di Kepuluan Seribu, tidak ada satu pun mempersoalkan, keberatan atau merasa terhina atas perkataan saya tersebut," kata bekas Bupati Belitung Timur itu.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) sidang kasus dugaan penodaan agama menyatakan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok bersalah.
Perbuatan Ahok menurut Jaksa memenuhi unsur Pasal 156 KUHP. Adapun Jaksa mendakwa Ahok dengan dakwaan alternatif antara Pasal 156 huruf a KUHP atau Pasal 156 KUHP. "Alternatif itu artinya memilih yang dipandang lebih terbukti oleh jaksa. Jadi bukan tidak dimasukkan.
Dari dua dakwaan alternatif, jaksa memilih alternatif kedua (Pasal 156 KUHP)," ujar Ketua JPU sidang Ahok, Ali Mukartono seusai persidangan di Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Kamis (20/4/2017).
Pasal 156 KUHP berbunyi,
"Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak Rp 4.500".
Sedangkan isi Pasal 156a KUHP adalah, "Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia".
Alasan jaksa mengenakan Pasal 156 KUHP karena Ahok pernah mengeluarkan buku dengan judul "Merubah Indonesia". Di dalam buku tersebut, yang dimaksud Ahok membohongi pakai Al Maidah ayat 51 itu adalah para oknum elit politik.
Atas dasar itu, jaksa menilai pasal 156 lebih tepat digunakan pada Ahok. "Nah di buku itu dijelaskan kalau yang dimaksud adalah si pengguna Al Maidah. Elit politik istilah beliau, bukan Al Maidah.
Atas dasar itu, jaksa menilai pasal 156 lebih tepat digunakan pada Ahok. "Nah di buku itu dijelaskan kalau yang dimaksud adalah si pengguna Al Maidah. Elit politik istilah beliau, bukan Al Maidah.
Kalau demikian maksud beliau maka ini masuk kategori umat Islam. Pengguna Al Maidah tu siapa? Golongan umat Islam. Maka tuntutan jaksa memberikan di alternatif kedua," jelas Ali. Dalam persidangan ke-20 kasus tersebut, jaksa menuntut Ahok agar di
KASUS DUGAAN PENISTAAN AGAMA YANG DILAKUKAN UAS?
Dalam Pberitaannya...
Organisasi masyarakat Horas Bangso Batak (HBB) melaporkan Ustaz Abdul Somad (UAS) atas tuduhan penistaan agama. Mereka kecewa lantaran dalam sebuah video ceramah, UAS dituding telah menghina salib sebagai simbol agama. "Dia [UAS] katakan salib itu adalah iblis dan setan.Dalam Pberitaannya...
Kami sebagai umat Kristiani tersinggung atas ucapannya. Kami datang ke sini ingin sampaikan bahwa ada oknum ustaz yang seperti itu agar negara ikut campur tangan," ujar Koordinator sekaligus Kuasa Hukum HBB Erwin Situmorang di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Senin (19/8/2019).
Erwin membuat laporan ke Polda Metro Jaya kendati video ceramah UAS tersebut berada di Pekanbaru, Riau. Hal itu karena ia menyaksikannya ketika sedang berada di Jakarta. "Tadi sudah ditanya bagian melapor, info kejadiannya di Pekanbaru kenapa tidak di sana saja melapornya.
Kami jawab, bahwa kami melihatnya di wilayah DKI Jakarta," ujarnya. Laporan itu tertuang pada nomor laporan polisi LP/5087/VIII/2019/PMJ/Dit. Reskrimsus tanggal 19 Agustus 2019, atas nama Netty Farida Silalahi selaku anggota HBB. Pasal yang dilaporkan yakni Pasal 156 KUHP.
Pakar: Aparat Penegak Hukum agar Hati-Hati Tangani Video Ceramah UAS
Pakar hukum pidana Suhardi Somomoeljono meminta aparat penegak hukum agar berhati-hati menangani ceramah Ustadz Abdul Somad biasa disingkat UAS menyusul adanya sejumlah pihak melaporkan UAS kepada kepolisian terkait video ceramahnya yang heboh dan viral karena dianggap menista agama lain.
Menurut Suhardi isi ceramah dari ustadz kondang tersebut harus diteliti secara seksama oleh para ahli hukum pidana. “Jangan memberi porsi kepada para ahli yang bukan ahlinya,”
Dia menyebutkan isi ceramah UAS yang mengatakan Salib identik dengan Jin Kafir sehingga ada dugaan menista agama umat Nasrani memang masih perlu dilakukan pengkajian dan pengujian yang mendalam.
Kajian itu, tuturnya, diperlukan karena seperti disampaikan UAS dalam klarifikasinya bahwa pernyataannya itu untuk menjawab pertanyaan anggota jamaah pengajian.
Peristiwanya pun terjadi tiga tahun lalu dalam pengajian secara tertutup di Masjid Agung An-Nur Pekanbaru, bukan dalam bentuk tabligh akbar. Selain itu pengajian hanya khusus untuk umat Islam serta tidak disiarkan stasiun televisi.
“Sehingga melalui kajian itu ada gambaran logis apakah peristiwa seperti itu dapat disebut sebagai bentuk perbuatan pidana menista agama,” kata mantan pakar Otsus Desk Papua pada Kemenko Polhukam ini.
Apalagi selama ini, ucap dia, UAS diketahui sebagai sosok yang mengakui keberadaan seluruh agama samawi yang diakui hukum positif di Indonesia.
Bahkan, kata dia, UAS seorang pegawai negeri sipil pemerintah, yang setia dengan Idiologi Negara Pancasila.
Terkecuali, tuturnya, pernyataan UAS dilakukan secara terbuka untuk umum. “Wajarlah jika kemudian UAS dianggap telah menistakan agama,” kata dosen Pasca Sarjana Universitas Math’laul Anwar, Banten ini.
Pakar Hukum Pidana
Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakir, menilai ceramah Ustad Abdul Somad (UAS) tidak termasuk perbuatan menista agama. Sebab, ceramahnya yang menyinggung 'salib' dilakukan di forum tertutup, yaitu masjid, dan diikuti umat Islam saja, dan Tidak termasuk (menista agama/delik Pasal 156a KUHP).
Pasal 156a menyatakan
Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakir, menilai ceramah Ustad Abdul Somad (UAS) tidak termasuk perbuatan menista agama. Sebab, ceramahnya yang menyinggung 'salib' dilakukan di forum tertutup, yaitu masjid, dan diikuti umat Islam saja, dan Tidak termasuk (menista agama/delik Pasal 156a KUHP).
Pasal 156a menyatakan
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja 'di muka umum'mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Menurut Mudzakir, UAS sedang menjawab pertanyaan ummatnya. Tanya-jawab itu dilakukan di masjid setelah salat subuh sehingga tidak memenuhi delik.
"Kalau umatnya bertanya. Dan dalam forum itu homogen, itu bukan bagian dari penghinaan. Karena dalam konteks agama, orang akan mengajarkan yang benar menurut agamanya. Akan mengutamakan kebenaran agamanya," papar Mudzakir.
Oleh sebab itu, konteks menjadi penting dalam memahami dan memaknai Pasal 156a KUHP. Termasuk memahami apakah pernyataan itu disampaikan di forum internal (satu keyakinan) atau eksternal (beragam keyakinan).
"Kalau dalam forum yang homogen, itu tentu lumrah. Perbandingan agama itu untuk meyakini agama masing-masing," ujar Mudzakir.
Menjadi masalah kemudian adalah ketika ada yang merekam ceramah internal itu kemudian tersebar. Menurut Mudzakir, bagi penganut agama yang benar, tidak dipermasalahkan.
"Mestinya orang memahami ceramahnya di mana dan orang harus maklum," cetus Mudzakir.
Bila kasus UAS diteruskan, menurut Mudzakir, itu akan menjadi preseden buruk dalam beragama. Sebab, tiap forum internal keagamaan juga membanding-bandingkan agama lain dan menilainya dengan keyakinannya.
"Nanti bisa-bisa di gereja, di masjid pasang rekaman. Ujung-ujungnya disharmonis agama-agama. Jangan-jangan nanti ceramah di kamar mandi juga dipidana," kata Mudzakir.
Terkait laporan yang sudah masuk ke kepolisian, itu menjadi diskresi bagi kepolisian. Apakah akan meneruskan ke proses lebih lanjut atau ditolak laporannya.
"Kalau polisi harus konsisten, meski berdasarkan ilmu hukumnya tidak termasuk, berarti semua laporan tetap harus diproses," pungkas ketua tim perumus RUU KUHP 2010 itu.
Sebagaimana diketahui, UAS menjadi penceramah kajian subuh di Masjid Annur, Pekanbaru, pada pada Sabtu, 2017.
"Karena rutin pengajian di sana, satu jam pengajian dilanjutkan diteruskan dengan tanya-jawab, tanya-jawab," jelas UAS.
UAS mengaku heran pernyataannya tersebut diviralkan baru-baru ini. Dia berjanji tidak akan lari bila video tersebut dipermasalahkan.
"Kenapa diviralkan sekarang, kenapa dituntut sekarang? Saya serahkan kepada Allah SWT. Sebagai warga yang baik, saya tidak akan lari, saya tidak akan mengadu. Saya tidak akan takut, karena saya tidak merasa bersalah, saya tidak pula merusak persatuan dan kesatuan bangsa," ujar UAS.
"Kalau umatnya bertanya. Dan dalam forum itu homogen, itu bukan bagian dari penghinaan. Karena dalam konteks agama, orang akan mengajarkan yang benar menurut agamanya. Akan mengutamakan kebenaran agamanya," papar Mudzakir.
Oleh sebab itu, konteks menjadi penting dalam memahami dan memaknai Pasal 156a KUHP. Termasuk memahami apakah pernyataan itu disampaikan di forum internal (satu keyakinan) atau eksternal (beragam keyakinan).
"Kalau dalam forum yang homogen, itu tentu lumrah. Perbandingan agama itu untuk meyakini agama masing-masing," ujar Mudzakir.
Menjadi masalah kemudian adalah ketika ada yang merekam ceramah internal itu kemudian tersebar. Menurut Mudzakir, bagi penganut agama yang benar, tidak dipermasalahkan.
"Mestinya orang memahami ceramahnya di mana dan orang harus maklum," cetus Mudzakir.
Bila kasus UAS diteruskan, menurut Mudzakir, itu akan menjadi preseden buruk dalam beragama. Sebab, tiap forum internal keagamaan juga membanding-bandingkan agama lain dan menilainya dengan keyakinannya.
"Nanti bisa-bisa di gereja, di masjid pasang rekaman. Ujung-ujungnya disharmonis agama-agama. Jangan-jangan nanti ceramah di kamar mandi juga dipidana," kata Mudzakir.
Terkait laporan yang sudah masuk ke kepolisian, itu menjadi diskresi bagi kepolisian. Apakah akan meneruskan ke proses lebih lanjut atau ditolak laporannya.
"Kalau polisi harus konsisten, meski berdasarkan ilmu hukumnya tidak termasuk, berarti semua laporan tetap harus diproses," pungkas ketua tim perumus RUU KUHP 2010 itu.
Sebagaimana diketahui, UAS menjadi penceramah kajian subuh di Masjid Annur, Pekanbaru, pada pada Sabtu, 2017.
"Karena rutin pengajian di sana, satu jam pengajian dilanjutkan diteruskan dengan tanya-jawab, tanya-jawab," jelas UAS.
UAS mengaku heran pernyataannya tersebut diviralkan baru-baru ini. Dia berjanji tidak akan lari bila video tersebut dipermasalahkan.
"Kenapa diviralkan sekarang, kenapa dituntut sekarang? Saya serahkan kepada Allah SWT. Sebagai warga yang baik, saya tidak akan lari, saya tidak akan mengadu. Saya tidak akan takut, karena saya tidak merasa bersalah, saya tidak pula merusak persatuan dan kesatuan bangsa," ujar UAS.
PERBEDAAN KASUS AHOK DAN UAS
Ada 3 Perbedaan antara Kasus Ahok dan UAS
Viralnya video ceramah UAS yang membahas tentang Salib, sebagai jawaban atas pertanyaan salah seorang jemaah, sampai hari ini belum juga tuntas.
Beberapa pihak, meminta UAS ‘diperlakukan’ sama sebagaimana Ahok diperlakukan tahun 2017 lalu, usai membawa-bawa surat Al-Maidah ayat 51, pada kunjungannya ke Kepulauan Seribu.
Namun, kita harus membuka mata dan menerima 3 perbedaan kasus UAS dan Ahok yang sangat jelas terlihat.
Perbedaan Kasus UAS dan Ahok
1. UAS saat Kajian Agama, Ahok saat Kunjungan Kerja
UAS menjawab tentang Salib, yang ditanyakan salah seorang jemaah, dalam kajian subuh yang rutin ia hadiri, di Masjid An-Nur, Pekanbaru.
Sementara Ahok, ‘menyeret’ Surat Al-Maidah ayat 51, ke tengah-tengah diskusinya dengan warga setempat, terkait perekonomian, Selasa (27/9/2016).
2. UAS Tokoh Agama, Ahok Pejabat Pemerintahan
Perbedaan kasus UAS dan Ahok yang kedua, terletak pada siapa mereka di mata khalayak ramai.
UAS dipandang sebagai tokoh agama, yang memang harus menyampaikan ajaran agama Islam, sesuai sunnah dan Alquran.
Ia berdakwah kepada umat Islam, agar yang tak paham menjadi paham, yang belum mengerti menjadi mengerti.
Sedangkan Ahok, menyebut Surat Al-Maidah ayat 51, saat menjelaskan dirinya tidak memaksa warga untuk memilih dirinya pada Pilkada 2017 lalu.
Namun, dalam pernyataan itu, ia menyertakan kutipan Surat Al-Maidah ayat 51. UAS di Lingkup Internal, Ahok di Ruang Publik
3. Perbedaan kasus UAS dan Ahok yang sangat jelas terlihat adalah tempat.
UAS menjawab pertanyaan jemaah, di dalam lingkup internal, di rumah ibadah umat Islam, yakni Masjid, terkait ajaran agamanya sendiri, dan semua yang hadir di sana adalah Muslim.
Sementara Ahok, mengatakan hal tersebut di ruang publik, disaksikan banyak pasang mata, di mana tidak semua yang hadir di sana, mendengarkan narasinya, se-agama dengannya.
Maka, jelas kasus UAS dan Ahok, tidak bisa disamakan.
Perbedaan kasus UAS dan Ahok yang kedua, terletak pada siapa mereka di mata khalayak ramai.
UAS dipandang sebagai tokoh agama, yang memang harus menyampaikan ajaran agama Islam, sesuai sunnah dan Alquran.
Ia berdakwah kepada umat Islam, agar yang tak paham menjadi paham, yang belum mengerti menjadi mengerti.
Sedangkan Ahok, menyebut Surat Al-Maidah ayat 51, saat menjelaskan dirinya tidak memaksa warga untuk memilih dirinya pada Pilkada 2017 lalu.
Namun, dalam pernyataan itu, ia menyertakan kutipan Surat Al-Maidah ayat 51. UAS di Lingkup Internal, Ahok di Ruang Publik
3. Perbedaan kasus UAS dan Ahok yang sangat jelas terlihat adalah tempat.
UAS menjawab pertanyaan jemaah, di dalam lingkup internal, di rumah ibadah umat Islam, yakni Masjid, terkait ajaran agamanya sendiri, dan semua yang hadir di sana adalah Muslim.
Sementara Ahok, mengatakan hal tersebut di ruang publik, disaksikan banyak pasang mata, di mana tidak semua yang hadir di sana, mendengarkan narasinya, se-agama dengannya.
Maka, jelas kasus UAS dan Ahok, tidak bisa disamakan.
SEKIAN...
Semoga artikel ini dapat bermanfaat, baik menambah pengetahuan dan pengalaman anda.
Salam dari kami :
Admin : Yunita Amalia, SH
Update : Clara 92
Blogger team : Celebes Blogger Community (CBC)
Advokat Pendamping :
Andi Akbar Muzfa, SH
Kantor Hukum :
FAMZ & Partners
Andi Muzfa & Partners