Efek kekerasan seksual terhadap anak antara lain depresi, gangguan stres pascatrauma, kegelisahan, kecenderungan untuk menjadi korban lebih lanjut pada masa dewasa, dan dan cedera fisik untuk anak di antara masalah lainnya. Pelecehan seksual oleh anggota keluarga adalah bentuk inses, dan dapat menghasilkan dampak yang lebih serius dan trauma psikologis jangka panjang, terutama dalam kasus inses orangtua.
Di Amerika Utara, sekitar 15% sampai 25% wanita dan 5% sampai 15% pria yang mengalami pelecehan seksual saat mereka masih anak-anak. Sebagian besar pelaku pelecahan seksual adalah orang yang dikenal oleh korban mereka; sekitar 30% adalah keluarga dari si anak, paling sering adalah saudara laki-laki, ayah, paman, atau sepupu; sekitar 60% adalah kenalan lainnya seperti 'teman' dari keluarga, pengasuh, atau tetangga, orang asing adalah pelanggar sekitar 10% dalam kasus penyalahgunaan seksual anak. Kebanyakan pelecehan seksual anak dilakukan oleh laki-laki; studi menunjukkan bahwa perempuan melakukan 14% sampai 40% dari pelanggaran yang dilaporkan terhadap anak laki-laki dan 6% dari pelanggaran yang dilaporkan terhadap perempuan. Sebagian besar pelanggar yang pelecehan seksual terhadap anak-anak sebelum masa puber adalah pedofil, meskipun beberapa pelaku tidak memenuhi standar diagnosis klinis untuk pedofilia.
Berdasarkan hukum, "pelecehan seksual anak" merupakan istilah umum yang menggambarkan tindak kriminal dan sipil di mana orang dewasa terlibat dalam aktivitas seksual dengan anak di bawah umur atau eksploitasi anak di bawah umur untuk tujuan kepuasan seksual. Asosiasi Psikiater Amerika menyatakan bahwa "anak-anak tidak bisa menyetujui aktivitas seksual dengan orang dewasa", dan mengutuk tindakan seperti itu oleh orang dewasa: "Seorang dewasa yang terlibat dalam aktivitas seksual dengan anak adalah melakukan tindak pidana dan tidak bermoral yang tidak pernah bisa dianggap normal atau perilaku yang dapat diterima secara sosial."
BACA JUGA (Terkait)
- Pembahasan Lengkap Pasal Pemerkosaan Pasal 285-288 KUHP
- Pengertian Dan Penjelasan Tindak Pidana Perkosaan Dalam KUHP
- Penjelasan Tentang Pelecehan Seksual Dan Cara Mengantisipasinya
- Perbedaan Delik Pemerkosaan, Perzinahan Dan Pencabulan
- Kumpulan Pasal Tentang Pemerkosaan Terhadap Wanita Update
1. Cedera
Tergantung pada umur dan ukuran anak, dan tingkat kekuatan yang digunakan, pelecehan seksual anak dapat menyebabkan luka internal dan pendarahan. Pada kasus yang parah, kerusakan organ internal dapat terjadi dan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan kematian. Herman-Giddens dan lainnya menemukan enam hal tertentu dan enam kasus kemungkinan kematian akibat pelecehan seksual anak di Carolina Utara antara tahun 1985 dan 1994. Para korban berkisar di usia dari 2 bulan sampai 10 tahun. Penyebab kematian termasuk trauma pada alat kelamin atau dubur dan mutilasi seksual.
2. Infeksi
Pelecehan seksual pada anak dapat menyebabkan infeksi dan penyakit menular seksual. Tergantung pada umur anak, karena kurangnya cairan vagina yang cukup, kemungkinan infeksi lebih tinggi. Vaginitis juga telah dilaporkan.
3. Kerusakan neurologis
Penelitian telah menunjukkan bahwa stres traumatis, termasuk stres yang disebabkan oleh pelecehan seksual menyebabkan perubahan penting dalam fungsi dan perkembangan otak. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pelecehan seksual anak yang parah mungkin memiliki efek yang merusak pada perkembangan otak. Ito et al. (1998) menemukan "perbedaan besaran otak sebelah kiri dan kanan secara asimetris dan otak kiri lebih besar terjadi pada subyek yang mengalami pelecehan;" Teicher et al. (1993) menemukan bahwa kemungkinan peningkatan "gejala seperti epilepsi lobus temporal" pada subjek yang mengalami pelecehan;
Anderson et all. (2002) mencatat perbedaan relaksasi yang tidak normal sewaktu pemeriksaan NMR (Nuclear magnetic resonance) cerebellar vermis pada otak orang dewasa yang mengalami pelecehan seksual masa kecil. Teicher et al. (1993) menemukan bahwa anak pelecehan seksual dapat dikaitkan dengan berkurangnya luas corpus callosum; berbagai studi telah menemukan hubungan berkurangnya volume dari hippocampus kiri dengan pelecehan seksual anak; dan Ito et al. (1993) menemukan kelainan elektrofisiologi meningkat pada anak-anak mengalami pelecehan seksual.
Beberapa studi menunjukkan bahwa pelecehan seksual atau fisik pada anak-anak dapat mengarah pada eksitasi berlebihan dari perkembangan sistem limbik[78] al. Teicher et. (1993) menggunakan "Sistem limbik Checklist-33" untuk mengukur gejala epilepsi lobus temporal ictal seperti pada 253 orang dewasa. Laporan tentang pelecehan seksual anak dikaitkan dengan peningkatan 49% menjadi skor LSCL-33, 11% lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan terkait kekerasan fisik yang dilaporkan sendiri. Laporan dari kedua kekerasan yaitu kekerasan fisik dan seksual dikaitkan dengan peningkatan sebesar 113%. Korban laki-laki dan perempuan sama-sama terpengaruh.
Navalta et al. (2006) menemukan bahwa dari Scholastic Aptitude Test matematika yang dilaporkan sendiri dari puluhan sampel perempuan dengan riwayat pelecehan seksual anak-anak berulang-ulang secara signifikan mendapatkan nilai matematika yang lebih rendah daripada yang dilaporkan sendiri dengan menggunakan nilai SAT dengan sampel yang tidak pernah dilecehkan. Karena subjek pelecehan verbal mendapatkan nilai SAT yang tinggi, mereka berhipotesis bahwa nilai matematika yang rendah dari SAT bisa "berasal dari sebuah cacat dalam integrasi belahan otak." Mereka juga menemukan hubungan kuat antara gangguan memori jangka pendek untuk semua kategori diuji (verbal, visual, dan global) dan durasi dari pelecehan.
Pemerkosaan terhadap anak
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Maria Ulfah Anshor, mengatakan kejahatan pada anak pada tahun 2012 didominasi kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual dengan nilai 30%. Dari hasil pemantauan KPAI, sebanyak 87 persen anak sekolah mengaku telah mendapatkan kekerasan di sekolah yang dilakukan oleh guru, wali kelas, petugas administrasi, dan satuan pengaman (satpam) sekolah.
Berdasarkan data Womens Crisis Centre (WCC) Kabupaten Nganjuk, terjadi kenaikan kasus perkosaan dan pencabulan yang menimpa korban dibawah umur pada tahun 2012 dibandingkan tahun sebelumnya. Menurut Divisi pendampingan WCC Kabupaten Nganjuk, Netty Yudhiana, penyebab meningkatnya kasus pencabulan dan perkosaan anak dibawah umur ini merupakan dampak buruk dari keberadaan alat komunikasi handphone (HP). Terlebih lagi, tarif sms yang sangat murah bahkan gratis dari para penyedia jasa telekomunikasi menjadikan anak-anak usia muda banyak memanfaatkannya untuk iseng.
Sementara itu, kenaikan proses perkosaan anak di Kabupaten Kendal pada tahun yang sama meningkat hingga 400%, dengan usia korban antara 13-18 tahun. Pemerhati anak Kendal, Sa'adatul, menjelaskan bahwa banyaknya kasus perkosaan yang menimpa anak adalah akibat dari kurangnya pengetahuan seks dan dampak dari perkembangan teknologi. Di sisi lain, orang tua kurang memberi pengawasan. Korban kebanyakan anak-anak yang tinggal di desa.
Pada tahun 2013, Emayartini menjadi wanita pertama di Indonesia yang dipenjara karena kasus pemerkosaan. Ia terbukti bersalah mencabuli enam anak remaja sehingga divonis penjara 8 tahun, denda 60 juta rupiah subsidair 3 bulan kurungan. Kasus ini memunculkan perbedaan pendapat karena berdasarkan uji psikologi RSJ Bengkulu, Emayartini perlu dirawat. Namun, berdasarkan penilaian majelis hakim, ia tidak gila sebab selama pemeriksaan ia sadar dan bisa menjelaskan kronologis kejadian.
Hukuman Terhadap Pelaku Pencabulan terhadap anak-anak
Hukum pencabulan terhadap anak-anak diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
BAB IX.
Penyelenggaraan Perlindungan (Bagian Kelima: Perlindungan Khusus)
1. Pasal 59
Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Bab XII. Ketentuan Pidana
1. Pasal 78
Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2. Pasal 81
- (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
- (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
4. Pasal 88
Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Artikel Serupa (Terkait)
- Pembahasan Lengkap Pasal Pemerkosaan Pasal 285-288 KUHP
- Pengertian Dan Penjelasan Tindak Pidana Perkosaan Dalam KUHP
- Penjelasan Tentang Pelecehan Seksual Dan Cara Mengantisipasinya
- Perbedaan Delik Pemerkosaan, Perzinahan Dan Pencabulan
- Kumpulan Pasal Tentang Pemerkosaan Terhadap Wanita Update
Jerat Pidana Bagi Pemerkosa Anak Kandung
Bagaimana jika ada perkosaan terhadap anak kandung?
Orang tua yang memperkosa anaknya dapat dijerat dengan Pasal 294 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang perbuatan cabul terhadap anaknya dengan ancaman pidana penjara paling lama tujuh tahun. Namun, dalam praktiknya pelaku pemerkosa anak (termasuk anak kandungnya) dapat dijerat dengan Pasal 81 ayat (3) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 76D Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dijerat dengan KUHP
Pada dasarnya, pemerkosaan atau persetubuhan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak kandungnya itu telah diatur dalam Pasal 294 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi:
Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 216) menjelaskan bahwa dewasa = sudah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun tapi sudah kawin atau pernah kawin. Perbuatan cabul (merujuk pada Penjelasan Pasal 289 KUHP, hal. 212) adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu berahi kelamin, misalnya: cium-ciuman, meraba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya. Di sini termasuk pula bersetubuh, akan tetapi dalam undang-undang disebutkan tersendiri.
Selain itu, pelaku juga bisa dijerat dengan Pasal 287 KUHP tentang pemerkosaan terhadap anak yang belum berumur 15 tahun:
- Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umumnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Dijerat dengan UU Perlindungan Anak
Namun, semenjak berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”) dan diubah kedua kalinya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“Perppu 1/2016”) sebagaimana yang telah ditetapkan sebagai undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang (“UU 17/2016”), maka pemerkosa anak (termasuk anak kandungnya) dapat dijerat dengan Pasal 81 ayat (3) Perppu 1/2016 jo. Pasal 76D UU 35/2014:
Pasal 76D UU 35/2014
Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Pasal 81 Perppu 1/2016
- Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
- Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
- Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
- Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D.
- Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
- Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.
- Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
- Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.
- Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak.
Perlu diketahui juga bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU 35/2014, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan yang dimaksud dengan orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat.
Masalah Pembuktian Kasus Pemerkosaan terhadap Anak Kandung
Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Masih Banyak Kendala dalam Penanganan Kasus Incest, untuk kasus incest, biasanya pasal yang digunakan oleh aparat penegak hukum adalah Pasal 294 ayat (1) KUHP dan Pasal 287 KUHP.
Masalah yang berkaitan dengan hukum acara pidana adalah pembuktian. Pembuktian kejahatan incest disamakan dengan pembuktian kejahatan pada umumnya. Menurut Ketua LBH Apik (yang menjabat saat itu), Vony Reyneta, hambatan yang dialami korban incest adalah tidak adanya daya dukung minimal di tingkat keluarga atas apa yang dialaminya. Sebagai sebuah kejahatan yang terjadi di lingkungan domestik, tentunya kesediaan anggota keluarga lainnya untuk mengangkat kasus ini menjadi salah satu faktor penentu bagi korban untuk melakukan upaya hukum.
Semoga Artikel ini Bermanfaat...
Dikutip dari berbagai sumber, literatur, buku-buku dan media online terbaik.
Salam;
Admin : Angreini Kurnia
Editing by : Suci Ramadhani, SH
Blogger : Celebes Blogger Community (CBC)
https://mahasiswailmiah.blogspot.com
Artikel ini telah mendapat persetujuan lisan dari Pengawas Blogger CBC;
Bpk. Andi Akbar Muzfa, SH (Advokat);
Untuk diterbitkan, dan jika ditemukan kekeliruan akan diperbaharui dikemudian hari.